Sabtu, 16 April 2016

Diary Tanah Rantau Part #2



 Belajar Mengerti Lebih Dulu



Masa-masa “kagok” atau masa-masa salah tingkahku, seperti yang sudah saya ceritakan pada Diary Tanah Rantau Part #1, sedikit demi sedikit mulai terakhiri. Aku mulai belajar membuka diri, lebih tepatnya memberanikan diri untuk tidak menjadi diriku yang “biasanya”, yang kurang total kalau nyapa orang. Hidup di tengah-tengah orang dewasa, mau tidak mau membuatku belajar banyak hal, baik itu belajar mencari tahu kesukaan mereka, kebiasaan, bahan obrolan dan candaan, hingga yang paling susah membuang jauh-jauh muka jutekku. Yap! Aku belajar membuang jauh-jauh gengsi dan rasa malu atau takut untuk menyapa terlebih dahulu. Syukur-syukur jika mereka membalasnya dengan ramah, namun kalau dibalas dengan acuhan saja ya nggak papa, itu bukanlah sesuatu hal yang berarti [lagi] bagiku.

Aku mencoba mewajari jika itu adalah hak mereka terlebih mengingat fakta jika mereka lebih senior dariku sehingga aku tidak ingin memusingkan hal-hal seperti itu dan memilih untuk tetap melempar muka jutek manisku pada mereka. Sekarang yang terpenting bagiku adalah usaha dan niatku itu baik. Ya sudah, I do really appreciate my self for doing that. Because at least, aku sudah menjalankan kewajibanku untuk menegur senior kantorku.

Dan terbukti, usahaku tersebut membuahkan hasil. Sekarang aku merasa lebih diterima di lingkunganku. Buktinya? Beberapa orang menyapaku lebih dulu. Rasanya, it was a great bless, alhamdulillah. Kendati sapaan mereka adalah guyonan karena aku jomblo melulu. Beberapa orang yang aku temui, khususnya yang bapak-bapak dan mas-mas selalu bertanya pacarku siapa dan dimana. Do you recognize one thing? Yap, nggak ada yang ngira aku jomblo my bro! Hahahaha. I cant stop laughing. Bukan itu saja, mereka pun mulai memperkenalkan relasi dan kawan-kawan mereka ke aku.


“Nih Nis, namanya mas A, dia orangnya baik, agamanya juga, penempatan di *tittt*, dulunya mantan kabid. Gimana? Kamu minat nggak nih? Kalau minat nanti aku kasih dia nomor kamu.”, sambil nunjukin sebuah foto seseorang pakai bertalikur. (Diantara serius dan bercanda)


“Milih Mas B atau Mas C, Nis? Jadi kamu nanti nggak usah repot-repot relokasi lagi kalau sudah menikah. Kan satu kantor. Kalau aku mending kamu sama Mas B aja, Nis. Mas D juga setujunya kamu sama Mas B. Gimana? Masuk kriteria kamu nggak dia?” (ini bercanda kayaknya)


“Nis kriteria cowok kamu itu gimana sih? Itu mas-mas tentara yang gagah aja kamu cuekin kalau nyapa” (ini serius, klarifikasi: aku nggak mau cuek sebenernya, tapi mereka insist me to do so)


“Kalau aku lihat sih, Nis, jodohmu nanti itu orangnya ganteng, kaya, pinter. Duh sayang aku udah nikah. Coba aku ketemu kamu lebih dulu, Nis” (ini bercanda)


“Mas B lagi keluar, Nis. Nanti aku salamin ke masnya” (ini apalagi, pasti bercanda)


......................dst......................
Respon aku?
*Plakk! jedotin jidat ke tembok*


Sejujurnya, aku bersyukur dengan statusku yang sendiri karena gara-gara status jomblo, pegawai-pegawai sini punya bahan untuk memulai pembicaraan denganku. Pun hal yang menguntungkan juga bagiku karena aku bisa lebih akrab dan mengenal mereka lebih baik. Jadi, meskipun istilahnya aku di-bully, tapi aku merasa senang dengan bully-an itu. I feel welcomed. Jadi hal yang aku pelajari bulan ini adalah, agar komunikasi berjalan dua arah dari mulut dan juga hati, kita harus mau mengenal orang lebih dulu, mengerti mereka lebih dulu, dan memiliki topik yang seirama.

Bukan hanya topik mengenai aku jomblo yang menjadi senjata andalan saat bergaul dengan mereka, aku juga menyesuaikan dengan gaya texting mereka. Seperti nulis partikel –nya pakai huruf x, misalnya bukux (read: bukunya), nulis kata dengan beberapa titik-titik yang menyertainya, misalnya: iya sih, kamu juga ya...... Aku sadar, aku nggak boleh menganggap itu alay atau lebay, karena kita hidup dalam perspektif yang berbeda, dimana, mungkin, aku menganggap mereka lebay tapi mereka menganggap aku ketus dengan gaya texting yang singkat dan terlalu formal.

Selain itu, untuk mencoba bergaul dengan pegawai wanita, aku mencoba belajar dandan dari mereka dan memuji mereka cantik dengan kreasi jilbabnya, make-upnya, berkunjung ke rumahnya, dan bersedia jadi model kreasi make-up dan hijab mereka. Menor banget dah aku hahaha. Tapi ya begitulah, aku terima dengan senang hati dan (mencoba) tetap tampil percaya diri. Jadi sebagai seseorang yang ingin “diterima”, kita wajib berusaha menyesuaikan diri, belajar mengerti terlebih dahulu, belajar sabar, menerima, dan menghargai, apalagi jika kita berhadapan dengan orang yang lebih tua. Kalau kata Stephen Covey dalam bukunya The Seven Habits,
    Seek first to understand and then to be understood, dear ^^

3 komentar: