Kamis, 19 Februari 2015

no caption, just write.



Menjadi taruni bukanlah hal yang pernah aku impikan sebelumnya, namun menjadi seorang taruni membuatku merasa lebih baik, seolah aku ditempatkan di tempat yang ‘benar’, tempat yang bisa membuatku menjadi pribadi yang lebih baik, lebih tegar, tangguh dan disiplin. Aku pribadi, gag nyangka bisa melalui masa-masa penempaan seorang taruni, mengingat aku dulunya yang begitu menye-menye, jangankan olahraga rutin, pelajaran olahraga yang diwajibkan saja, ogah-ogahan gue. Parahnya malah aku dikenal sebagai pelopor orang yang males olahraga sama pak Yudha, guru magang yang sempet ngajar di SMAku dulu. Begitu juga teman-temanku, mereka malah ngetawain aku sekarang. One of them said, “kualat deh kayaknya kamu, Nis” sambil tertawa terbahak-bahak. Namun entah bagaimanapun juga, Allah mengabulkan doaku dengan cara ini, karena aku ditempatkan ditempat yang bisa buat aku lebih baik. Bukan hanya semi militer, tapi temen-temen pada bilang kalau kampusku juga semi pesantren. Kegiatan rohis yang gencar-gencarnya diwajibkan bagi seluruh taruna tingkat I, mau ga mau, suka ga suka, kita wajib mengikutinya. Padahal sejatinya itu baik untuk kita, itu juga tanda saking  sayangnya senior sama juniornya. Bayangin aja, pelajaran agama hanya ada sewaktu kami semester I sedangkan jika mengingat kondisi kita yang sedang jauh dari keluarga, membuat kita rentan tergoda dunia luar, terlebih jika lingkungan kita mendukung aktivitas yang menimbulkan mudhorot semata, kita jelas memerlukan pondasi iman yang kuat agar tak terbawa arus kencangnya hawa nafsu. Itu kenapa badan dakwah STMKG, ROHIS, seringkali menggelar acara-acara keagaman diantaranya, liqo’, kajian rutin, mabit, rihlah, kajian akbar, acara semacam keputrian dan keputraan hehe.
Menjadi seorang taruna bukan melulu mengenai fisik, kami juga dituntut untuk berlomba menjadi yang terbaik di bidang akademik. Berdasarkan keputusan terakhir, prestasi akademik sangat memengaruhi posisi penempatan kita untuk Praktik Kerja Lapangan (PKL) pada tahun kedua nanti, sedangkan bagi senior tingkat II hingga IV, prestasi akademik memengaruhi jumlah tunjangan yang akan beliau terima. Sengaja maupun tidak, aku rasa aku tak pernah luput dari 5 besar at least di kelas, padahal aku tidak merasa melakukan effort yang sesuai untuk itu. Namun kini ketika aku sudah mengusahakan effort semaksimal yang aku bisa, minimal 80% merasa lancar ketika mengerjakan ujian akhir semester I, aku justru menerima hasil yang kurang, atau bahkan tidak memuaskan. Mungkin kalau kata orang, ‘sakitnya tuh disini’ hehe. Jujur aku merasa heran, bagaimana bisa itu semua terjadi, kecewa, iya. Seketika setelah mengetahui beberapa nilai mata ujian yang seperti itu, aku menceritakan apa yang terjadi pada ibuku. Ibuku convince me a lot, beliau terus mengirimkan sms motivasi kepadaku. Berikut beberapa pesan yang dikirim mamaku.
“Diterima aja dulu. Setelah ini lebih tenang, jangan terlalu terbebani, Ibu yakin kamu bisa bangkit”
‘Tuhan menaruhmu ditempatmu sekarang bukan tanpa alasan. Ia pasti punya maksud untuk hidupmu”
“Semangattt lagi”
“Mempertahankan lebih sulit daripada merebut. Ayo mbak... Jangan putus asa ya”
“Semangattt lagi yaaaa :*”
“Mbak waktunya kamu bayar kos ya? Bayarkan pake uangmu dulu, nanti kalau pulang ibu ganti. Bonussss”
“Kamu lagi apa? Main?”

Ibuku bukan tipikal orang  yang mengirimkan sms-sms seperti itu setiap pagi. Ibuku tipe orang yang tidak ingin terlihat lemah atau sedih didepanku, walaupun aku tahu, setiap aku sakit, ibu merasakan dua kali atau bahkan tiga kali lipat sakitku, sedihku, kecewaku. Namun ibuku tak pernah menunjukkannya didepanku. Untuk itulah, walaupun terkesan sms biasa, itu adalah sms paling panjang ibu, mungkin butuh lebih dari 10 menit untuk hanya mengetik tulisannya, karena ibuku memang tidak begitu tertarik dengan gadget.
Rasanya pengen banget nangis tapi gabisa. Perlahan aku mulai menerima  kebodohanku, aku seolah selalu saja menampiknya, namun pada akhirnya hanya berakhir duka. Aku mungkin merasa begtitu terobsesi dengan masalah penempatan. Aku ingin menjadi yang terbaik, selalu and always, agar bisa memilih penempatan yang sesuai dengan keinginanku. Obsesi itulah yang pada akhirnya menikamku dari belakang, aku merasa terlalu bersemangat namun akhirnya jatuh karena sakit. Seringkali maag ku kambuh seaktu mingu-minggu ujian kala itu. Padahal aku juga selalu berusaha untuk tidak melewatkan jam makanku. Apalagi kalau ga stress. Aku menampik berulang kali kalau aku stress, karena emang ga ada rasanya, aku merasa biasa-biasa saja, benar-benar biasa. Lantas apa penyebabnya kalau bukan itu?
Hal bodoh yang aku pikirkan lagi adalah jika aku tidak penempatan di Pulau Jawa adalah bagaimana aku bisa menemukan pasangan hidupku, aku ingin menikah di Jawa dan tinggal di Jawa. Terlebih di kampung halamanku, namun jika tidak bisa setidaknya aku di Jawa, satu pulau dengan keluarga besarku. Dan aku tak tahu apakah calon suamiku kelak mau menemaniku tinggal di luar jawa. Aku sungguh memikirkan masa depanku. Aku tahu PKL hanya setahun, namun bukan satu tahun itu yang berarti, SK yang terdaftar di stasiun atau balai tersebut yang mengikatku. Dan aku wajib menerimanya karena tanda tanganku tertera pda kontrak yang dulu dibuat sebelum aku mulai menjadi taruni di kampusku.
Hal egois lainnya adalah aku gamau  jauh dari orangtuaku dan mengagungkan pengaruh gender.  Aku terlalu takut berada di tempat orang tanpa ada sanak saudara disampingku. Aku hanya tak bisa membayangkan bagaimana jika aku sakit, siapa yang merawat, bagaimana aku bisa bertahan di tempat orang, budayanya, cara berbicara dan mayoritas agama yang dianutnya, aku takut itu bisa menggoyahkan imanku yang belum seberapa. Aku terlalu paranoid dengan hal-hal yang padahal belum terjadi.
Setelah itu aku sadar, ini cara Allah mengingatkanku, meluruskan kembali jalanku, niatku seperti ketika aku memutuskan untuk berhijab dengan sebenarnya. Niatku sudah salah, bukan untuk menuntut ilmu Allah kemudian mengamalkannya. Aku seperti, aku hanya memikirkan diriku sendiri. Bodohnya aku yang hanya mengkhawatirkan jodoh, padahal Dia telah mengatur segalanya. Bodohnya aku mengkhawatirkan nilai yang bisa saja berubah jika Dia menghendakinya. Bodohnya saya takut akan kesendirian, padahal jelas-jelas pada akhirnya aku akan sendirian di liang lahat. Bodohnya aku mengkhawatirkan sesuatu padahal aku punya Allah yang selalu ada buatku, disampingku. Betapa saya merasa berdosanya, malunya kepadamu Ya Rab. Berdoa ketika musibah datang menimpaku dan bersenang atau bahkan lupa kala kebahagiaan menghampiriku. Saya dulu tidak pernah bertanya, “Kenapa saya yang jadi juara kelas?”, Tapi kenapa saya sekarang bertanya, “Kenapa hasil pekerjaan saya buruk?”. Saya, hamba yang acapkali membuat kesalahan, kebodohan, kemaksiatan namun Engkau tetap memberiku nikmat yang tiada tara, ibu yang begitu sangat sempurna, tubuh yang tiada ada cacatnya, rezeki yang tiada habisnya. Engkau yang tetap melindungi hamba, memberikan kejutan-kejutan yang tak pernah hamba sangka sebelumnya. Ending yang selalu lebih baik dari hambaNya, entah itu sedih atau gembira, semua pasti ada maknanya. Seperti hadist Abu Hurairah, aku tidak tahu harus senang atau sedih, karena aku tidak tahu mana yang lebih baik diantara keduanya bagiku.

0 komentar:

Posting Komentar