Menjadi taruni bukanlah hal yang pernah aku impikan sebelumnya, namun menjadi seorang taruni membuatku merasa lebih baik, seolah aku ditempatkan di tempat yang ‘benar’, tempat yang bisa membuatku menjadi pribadi yang lebih baik, lebih tegar, tangguh dan disiplin. Aku pribadi, gag nyangka bisa melalui masa-masa penempaan seorang taruni, mengingat aku dulunya yang begitu menye-menye, jangankan olahraga rutin, pelajaran olahraga yang diwajibkan saja, ogah-ogahan gue. Parahnya malah aku dikenal sebagai pelopor orang yang males olahraga sama pak Yudha, guru magang yang sempet ngajar di SMAku dulu. Begitu juga teman-temanku, mereka malah ngetawain aku sekarang. One of them said, “kualat deh kayaknya kamu, Nis” sambil tertawa terbahak-bahak. Namun entah bagaimanapun juga, Allah mengabulkan doaku dengan cara ini, karena aku ditempatkan ditempat yang bisa buat aku lebih baik. Bukan hanya semi militer, tapi temen-temen pada bilang kalau kampusku juga semi pesantren. Kegiatan rohis yang gencar-gencarnya diwajibkan bagi seluruh taruna tingkat I, mau ga mau, suka ga suka, kita wajib mengikutinya. Padahal sejatinya itu baik untuk kita, itu juga tanda saking sayangnya senior sama juniornya. Bayangin aja, pelajaran agama hanya ada sewaktu kami semester I sedangkan jika mengingat kondisi kita yang sedang jauh dari keluarga, membuat kita rentan tergoda dunia luar, terlebih jika lingkungan kita mendukung aktivitas yang menimbulkan mudhorot semata, kita jelas memerlukan pondasi iman yang kuat agar tak terbawa arus kencangnya hawa nafsu. Itu kenapa badan dakwah STMKG, ROHIS, seringkali menggelar acara-acara keagaman diantaranya, liqo’, kajian rutin, mabit, rihlah, kajian akbar, acara semacam keputrian dan keputraan hehe.
Menjadi seorang taruna bukan melulu mengenai fisik,
kami juga dituntut untuk berlomba menjadi yang terbaik di bidang akademik.
Berdasarkan keputusan terakhir, prestasi akademik sangat memengaruhi posisi
penempatan kita untuk Praktik Kerja Lapangan (PKL) pada tahun kedua nanti,
sedangkan bagi senior tingkat II hingga IV, prestasi akademik memengaruhi
jumlah tunjangan yang akan beliau terima. Sengaja maupun tidak, aku rasa aku
tak pernah luput dari 5 besar at least di kelas, padahal aku tidak merasa
melakukan effort yang sesuai untuk itu. Namun kini ketika aku sudah
mengusahakan effort semaksimal yang aku bisa, minimal 80% merasa lancar ketika
mengerjakan ujian akhir semester I, aku justru menerima hasil yang kurang, atau
bahkan tidak memuaskan. Mungkin kalau kata orang, ‘sakitnya tuh disini’ hehe.
Jujur aku merasa heran, bagaimana bisa itu semua terjadi, kecewa, iya. Seketika
setelah mengetahui beberapa nilai mata ujian yang seperti itu, aku menceritakan
apa yang terjadi pada ibuku. Ibuku convince me a lot, beliau terus mengirimkan
sms motivasi kepadaku. Berikut beberapa pesan yang dikirim mamaku.
“Diterima
aja dulu. Setelah ini lebih tenang, jangan terlalu terbebani, Ibu yakin kamu
bisa bangkit”
‘Tuhan
menaruhmu ditempatmu sekarang bukan tanpa alasan. Ia pasti punya maksud untuk
hidupmu”
“Semangattt
lagi”
“Mempertahankan
lebih sulit daripada merebut. Ayo mbak... Jangan putus asa ya”
“Semangattt
lagi yaaaa :*”
“Mbak
waktunya kamu bayar kos ya? Bayarkan pake uangmu dulu, nanti kalau pulang ibu
ganti. Bonussss”
“Kamu
lagi apa? Main?”
Ibuku bukan tipikal orang yang mengirimkan sms-sms seperti itu setiap
pagi. Ibuku tipe orang yang tidak ingin terlihat lemah atau sedih didepanku,
walaupun aku tahu, setiap aku sakit, ibu merasakan dua kali atau bahkan tiga
kali lipat sakitku, sedihku, kecewaku. Namun ibuku tak pernah menunjukkannya
didepanku. Untuk itulah, walaupun terkesan sms biasa, itu adalah sms paling
panjang ibu, mungkin butuh lebih dari 10 menit untuk hanya mengetik tulisannya,
karena ibuku memang tidak begitu tertarik dengan gadget.
Rasanya pengen banget nangis tapi gabisa. Perlahan aku
mulai menerima kebodohanku, aku seolah
selalu saja menampiknya, namun pada akhirnya hanya berakhir duka. Aku mungkin
merasa begtitu terobsesi dengan masalah penempatan. Aku ingin menjadi yang
terbaik, selalu and always, agar bisa memilih penempatan yang sesuai dengan
keinginanku. Obsesi itulah yang pada akhirnya menikamku dari belakang, aku
merasa terlalu bersemangat namun akhirnya jatuh karena sakit. Seringkali maag
ku kambuh seaktu mingu-minggu ujian kala itu. Padahal aku juga selalu berusaha
untuk tidak melewatkan jam makanku. Apalagi kalau ga stress. Aku menampik
berulang kali kalau aku stress, karena emang ga ada rasanya, aku merasa
biasa-biasa saja, benar-benar biasa. Lantas apa penyebabnya kalau bukan itu?
Hal bodoh yang aku pikirkan lagi adalah jika aku
tidak penempatan di Pulau Jawa adalah bagaimana aku bisa menemukan pasangan
hidupku, aku ingin menikah di Jawa dan tinggal di Jawa. Terlebih di kampung
halamanku, namun jika tidak bisa setidaknya aku di Jawa, satu pulau dengan
keluarga besarku. Dan aku tak tahu apakah calon suamiku kelak mau menemaniku
tinggal di luar jawa. Aku sungguh memikirkan masa depanku. Aku tahu PKL hanya
setahun, namun bukan satu tahun itu yang berarti, SK yang terdaftar di stasiun
atau balai tersebut yang mengikatku. Dan aku wajib menerimanya karena tanda
tanganku tertera pda kontrak yang dulu dibuat sebelum aku mulai menjadi taruni di
kampusku.
Hal egois lainnya adalah aku gamau jauh dari orangtuaku dan mengagungkan
pengaruh gender. Aku terlalu takut
berada di tempat orang tanpa ada sanak saudara disampingku. Aku hanya tak bisa
membayangkan bagaimana jika aku sakit, siapa yang merawat, bagaimana aku bisa
bertahan di tempat orang, budayanya, cara berbicara dan mayoritas agama yang
dianutnya, aku takut itu bisa menggoyahkan imanku yang belum seberapa. Aku
terlalu paranoid dengan hal-hal yang padahal belum terjadi.
Setelah itu aku sadar, ini cara Allah
mengingatkanku, meluruskan kembali jalanku, niatku seperti ketika aku
memutuskan untuk berhijab dengan sebenarnya. Niatku sudah salah, bukan untuk
menuntut ilmu Allah kemudian mengamalkannya. Aku seperti, aku hanya memikirkan
diriku sendiri. Bodohnya aku yang hanya mengkhawatirkan jodoh, padahal Dia
telah mengatur segalanya. Bodohnya aku mengkhawatirkan nilai yang bisa saja berubah
jika Dia menghendakinya. Bodohnya saya takut akan kesendirian, padahal
jelas-jelas pada akhirnya aku akan sendirian di liang lahat. Bodohnya aku
mengkhawatirkan sesuatu padahal aku punya Allah yang selalu ada buatku,
disampingku. Betapa saya merasa berdosanya, malunya kepadamu Ya Rab. Berdoa
ketika musibah datang menimpaku dan bersenang atau bahkan lupa kala kebahagiaan
menghampiriku. Saya dulu tidak pernah bertanya, “Kenapa saya yang jadi juara
kelas?”, Tapi kenapa saya sekarang bertanya, “Kenapa hasil pekerjaan saya
buruk?”. Saya, hamba yang acapkali membuat kesalahan, kebodohan, kemaksiatan
namun Engkau tetap memberiku nikmat yang tiada tara, ibu yang begitu sangat
sempurna, tubuh yang tiada ada cacatnya, rezeki yang tiada habisnya. Engkau
yang tetap melindungi hamba, memberikan kejutan-kejutan yang tak pernah hamba
sangka sebelumnya. Ending yang selalu
lebih baik dari hambaNya, entah itu sedih atau gembira, semua pasti ada
maknanya. Seperti hadist Abu Hurairah, aku tidak tahu harus senang atau sedih,
karena aku tidak tahu mana yang lebih baik diantara keduanya bagiku.
0 komentar:
Posting Komentar