Banyak ahli pikir menafsirkan makna hijab, ada yang
bilang yang penting hatinya dulu itu dijilbabin, namun kebanyakan mengartikan
hijab dengan makna denotasinya yaitu untaian kain yang dijulurkan menutupi dada.
Bukan tanpa maksud, ya memang aurat wanita adalah daya tarik seorang wanita,
kaum adam pasti juga mengiyakannya. Karena itu Allah ciptakan segala bentuk aturan
untuk menjaga kehormatan seorang hawa dan membuatnya nampak lebih berharga.
Bagi saya.....
Hiijab
itu pelindung. Pelindung dari peluang munculnya segala
tindak kriminalitas, bukan hanya dari kecentilan tangan beberapa adam yang
kurang ilmunya, namun pelindung dari munculnya hawa nafsu pribadi yang
mengenakannya, pelindung segala aspek batiniyah seorang hawa. Secara lahiriyah,
hijab adalah pelindung kepala wanita dari semakin teriknya sinar matahari
akibat murkanya alam semesta karena ulah sebagian besar khalifah bumi tercinta.
Selain itu hijab juga merupakan pelindung dari radikal bebas, debu, dan polusi.
Hijab
itu filter. Filter untuk memilih hal-hal yang baik
aja, baik buat diri sendiri atau orang lain. Sehingga Allah pasti memilih
hal-hal yang baik juga, misalnya pekerjaan yang baik-baik karena kita
justru disupport dengan hijab kita
bukan malah menyuruh kita menanggalkannya, jodoh yang baik-baik karena
dia mengerti bagaimana memilih calon yang baik juga untuknya, sehingga
kedepannya in shaa Allah rumahtangga yang baik-baik juga karena
pembentukannya dimulai dengan niatan yang baik pula, tak sekedar nafsu melihat
apa-apa yang bisa dilihat seperti paras, ilmu, atau harta tetapi lebih kepada
akhlaknya. Rumahtangga yang in shaa Allah bisa menuntun kita pada jannah.
Hijab
itu jati diri. Bunga mawar tak dapat disebut mawar
tanpa durinya, bunga melati tak dapat disebut melati tanpa aroma khasnya,
begitu pula wanita, wanita tak dapat disebut wanita tanpa hijabnya dalam
pandangan Islam. Itulah esensi jati diri, sesuatu yang membedakan kita dengan
yang lain, sesuatu yang identik dengan ciri khas kita, sesuatu yang membuat
kamu dikenal dengan kamu dan aku dikenal dengan aku.
Seperti yang jamak tahu, hijab kini juga sedang tren
di pasaran, entah memang niat karena Ilahi atau sekedar ingin model-modelan, meniru seseorang, ingin
memenuhi keinginan pacar atau suami, atau bahkan sekedar ingin menutupi hal
yang dianggapnya memalukan. Hingga pernah suatu ketika saya mendengar istilah
hijab NU, Nutupin Uban, mungkin masih wajar. Namun ada lagi yang berhijab
karena merupakan keinginan pacar atau suami, iya kalau pacar atau suaminya
selalu ada bersamanya, kalau sudah putus? cerai (naudzubillah)? Ya kebanyakan
memilih untuk menanggalkan hijabnya. Lebih miris kan? Atau mungkin sekedar
mengikuti mode yang lagi in di
pasaran, hingga muncullah istilah “itu jilbab apa jilboobs?”
Astaghfirullahhaladzim.
Ada juga yang sudah memakai hijab yang panjang lebar
yang istilahnya hampir menutupi setengah badan, eh ternyata selingkuh juga
waktu nikah, eh gatau kapan melakukan dan dimana taunya hamil di luar nikah, eh
ternyata dia lesbian, eh doyan “uang” juga (read:korupsi), atau seperti yang
paling horor di masyarakat, eh taunya dia teroris. Astaghfirullahhaladzim. Hal
tersebut akhirnya tak jarang menimbulkan cemooh di masyarakat, memandang miring
mereka yang mengenakan hijab, menganggap hijab hanya sebagai penutup “aibnya”.
Ada lagi cerita yang terlalu fanatik dengan aliran
yang dianutnya, akhirnya mereka memandang orang lain salah dan hanya aku yang
benar. Memandang semua orang yang tidak melakukan apa yang dia lakukan sebagai
perbuatan dosa, sedikit-dikit judge orang
dosa, syirik, kafir, dll. Hingga pada akhirnya menimbulkan perselisihan,
perbedaan pendapat yang berujung kisruh. Miris sungguh miris melihat saudara/i
seiman bukan malah saling mendukung, malah berdebat, mencari kekurangan dan
menyalahkan satu sama lain.
Saya jadi ingat cerita ketika Rasulullah dengan sabar menyuapi seorang wanita kafir yang buta, yang selalu memaki, mencerca, dan mengutuk Muhammad, namun beliau tetap menyuapi wanita paruh baya tersebut setiap hari meskipun beliau tahu wanita itu salah, salah karena dia adalah seorang yang kafir. Hingga suatu ketika Baginda Rasulullah wafat, wanita tersebut baru menyadari jika yang menyuapinya selama ini tak lain adalah Rasulullah dan seketika beliau memeluk islam. Subhanallah, merinding tiap kali saya mengingat cerita itu, bagaimana Rasulullah mencontohkan keteladanan tanpa ingin dianggap teladan, konsisten berdakwah namun tak pernah memaksa. Itu yang menurut saya perlu digarisbawahi dari cara dakwah kalangan kini, dakwah itu bukan memaksa namun dakwah itu merangkul, meluluhkan, dan membuka hati nurani saudara/i kita, seiman maupun tidak.
Saya jadi ingat cerita ketika Rasulullah dengan sabar menyuapi seorang wanita kafir yang buta, yang selalu memaki, mencerca, dan mengutuk Muhammad, namun beliau tetap menyuapi wanita paruh baya tersebut setiap hari meskipun beliau tahu wanita itu salah, salah karena dia adalah seorang yang kafir. Hingga suatu ketika Baginda Rasulullah wafat, wanita tersebut baru menyadari jika yang menyuapinya selama ini tak lain adalah Rasulullah dan seketika beliau memeluk islam. Subhanallah, merinding tiap kali saya mengingat cerita itu, bagaimana Rasulullah mencontohkan keteladanan tanpa ingin dianggap teladan, konsisten berdakwah namun tak pernah memaksa. Itu yang menurut saya perlu digarisbawahi dari cara dakwah kalangan kini, dakwah itu bukan memaksa namun dakwah itu merangkul, meluluhkan, dan membuka hati nurani saudara/i kita, seiman maupun tidak.
Ada yang kemudian bahkan berani mengkomersilkan
agama, mungkin sepintas dia nampak begitu islami dengan jilbab yang menjuntai
panjang dan dakwah yang senantiasa tersiar namun ternyata itu adalah kedok
semata. Pernah ada suatu kasus, bilangnya sih bisnis ala Rasulullah dan bisa
menjadikannya hartawan dalam waktu yang terbilang singkat selama mereka mau
menginvestasikan hartanya untuk bisnis tersebut. Akhirnya banyak orang yang
yang tergiur dengan bisnis tersebut. Awal-awalnya sih berjalan lancar,
investasinya terlihat begitu menguntungkan bahkan ada yang rela
menginvestasikan lebih. Namun selama selang waktu beberapa bulan, sudah tercium
ketidakberesan dalam bisnis tersebut hingga pada akhirnya uang investasi
tersebut dibawa kabur. Sekali lagi agama dijadikan dasar yang hanya dijadikan
bisnis hitam. Apa ini bukan disebut dengan mengkomersilkan agama? Naudzubillah.
Kasus-kasus diatas tak jarang berimbas pada
pandangan sebagian masyarakat yang tak lagi memandang hijab sebagai sebuah
ketaatan, sebagian ada yang justru berpandangan miring terhadapnya. Bahkan di
beberapa negara di luar negeri, wanita yang berhijab dipandang berbahaya, tak
hanya hijab justru juga agamanya, islam dipandang sebuah agama yang radikal,
yang identik dengan terorisme. Ya nggak menyalahkan juga karena fakta di
lapangannya memang begitu. Makanya nggak usahlah kita menjudge sedikit-dikit
dosa, istilahnya baru bisa baca Al-Qur’an sedikit saja gayanya sudah luar
biasa, baru pake hijab tertutup saja sudah merasa ustadzah mulia.
Salah besar jika selama ini orang mengklaim,
“padahal berhijab tapi kelakuannya kok....” Bukan hijabnya yang salah tetapi akhlaknya. Sahabat fillah, perlu
diingat jika hijab adalah kewajiban kita sebagai wanita muslim yang berusaha menjalankan
syariatNya namun akhlak masing-masing orang ya tergantung orangnya sendiri,
bagaimana kepribadiannya, bagaimana niatannya, dan yang lebih utama seberapa
kadar imannya. Tak ada yang pernah tahu kadar keimanan seseorang, kecuali Dia,
Allah Sang Maha Pencipta Segalanya. Maka dari itu, janganlah kita merasa lebih
benar diantara saudara yang lainnya, seiman ataupun tidak. Karena nanti ujung-ujungnya
juga hanya memunculkan egoisme masing-masing aliran atau bahkan agama.
Memperbaiki diri, menata hati, menjaga konsistensi, itu lebih berarti.
0 komentar:
Posting Komentar