Anastasya, nama yang sering
disalahucapkan banyak guru ketika memanggil namaku. Itu memang bukan namaku sih, tetapi bukan berarti tak ada
hubungannya denganku. Kebanyakan teman dekatku pasti mengerti jika itu adalah
nama adik paling bungsuku. Yap, namanya Anastasya Tri Andriani Hidayat. Dulu
dia jauh lebih pendek dari aku tetapi sekarang dia sudah menyamai tinggiku. Usianya
baru 14 tahun. Waktu itu secepat ini ya. Nggak
terasa. Sifat, hobi, dan kepribadian adikku itu jauh berbeda jika
dibandingkan denganku. Jika dia suka tantangan maka aku lebih suka ketenangan.
Ya begitulah.
Kalau ngobrolin soal asmara,
jangan ditanya deh berapa orang yang sudah nembak dia, banyak. Mulai dari semua
temen sekelasnya, luar kelas, kakak kelas, atau bahkan beda sekolah. Dan
semua....ditolaknya. Hahaha. Sedikit banyak itu karena hasil doktrinasiku biar
dia nggak pacaran dulu. Sesekali adalah karena perbuatanku yang sengaja
membalas setiap chat yang masuk ke HP adikku. Ya tahu lah ya, bagaimana
bahayanya pacaran versi anak kekinian. Nakutin, banget. Namun bersyukurnya, adikku
mengerti apa yang aku takutkan. Bagi dia, sekalipun dia punya pacar, dia bakal
lebih memilih pacaran virtual ala-ala LDR daripada pacaran yang deket-deketan. “Soalnya
kalau LDR itu kita nggak perlu sering
ketemu, nggak ganggu.”, katanya
padaku.
Kalau bisa ngiri gitu, aku ngiri
banget sama adekku meskipun bangga juga sih.
Gimana nggak ngiri, tingginya dapet,
wajah juga, pinter iya, aktif banget juga dan yang paling penting jiwa humanis
dia itu tinggi banget. Baru masuk tahun pertama di SMP, dia sudah ditunjuk jadi
kader remaja. Tak lama berselang dia jadi penggiat Forum Anak Kota Mojokerto.
Ditunjuk jadi sekretaris pula. Gils
bener daaah! Beda banget sama aku dulu waktu SMP yang tahunya cuma “buku”.
Membosankan.
Di usianya yang masih belia,
pemikirannya sudah dewasa. Sabtu malam, 14 Mei 2016, aku ngajak adikku keluar
buat beli jajanan dan oleh-oleh. Seperti biasanya, malam minggu selalu identik
dengan macetnya jalanan oleh lalu lalang orang mencari hiburan atau sekedar hang out bersama keluarga atau teman.
Tiba-tiba adikku nyletuk,”Mbak,mesti
ya sabtu minggu gitu banyak cewek cowok yang keluar pacaran, pegangan tangan,
atau apa gitu. Gitu itu kan nyontohin yang jelek sama anak-anak yang masih
kecil, yang belum ngerti apa-apa. Gimana anak kecil bisa nggak tahu istilah pacaran kalau lihat sekelilingnya kayak gitu.
Jomblo itu kayak aib besar gitu mbak sekarang.”
Dengan spontannya aku bilang,
“Makanya persepsi tentang jomblo itu perlu dilurusin. Kalau kata temenku ada 3
kriteria orang jomblo, jomblo yang pertama itu jomblo yang pemilih, kedua
adalah jomblo yang emang nggak laku,
dan jomblo yang terakhir adalah jomblo pilih-pilih padahal nggak laku.”
Dia jawab, “Fak mbak, hahahaha.
Tapi zaman pean dulu kan nggak ada istilah jones (jomblo ngenes)” sambil ketawa terbahak-bahak
diatas motor yang kukendarai.
Kemudian aku diam sejenak. Kembali
memikirkan kata-kata adikku yang secara tidak langsung juga menamparku sebagai
orang dewasa, sebagai orang yang juga pernah ngajak (mantan) pacar jalan bareng
sama keluarga, orang yang pernah mencontohkan hal yang tidak baik padanya.
Dalam hati, “Gila, nih bocah sengaja nyindir gua apa gimana.” Soalnya dia akrab
sama mantanku (dulu). Merasa salah? Jelas. Dengan sedikit menahan rasa malu,
aku mulai melanjutkan pembicaraanku, menasehatinya bak orang yang paling benar
seantero jagad raya,”Makanya kamu jangan pacaran dulu, aku yang udah kerja aja
belum punya pacar. Kamu tahu kan gimana aku pas putus dulu? Duh, banyak nggak enaknya lah. Mending haha hihi aja
dulu, nggak usah nyoba apalagi yang
kenal lewat dunia maya gitu. Serem
lah.”
“Pean tahu a mbak? Anak
sekelas lho pernah nembak aku semua,
anak kelas 8 ada 4 orang, anak kelas 9 ada 1 orang. Cowok itu kok gampang gitu
ya kayaknya kalau mau nembak cewek, Mbak? Sekedar nyaman chat, nyambung
ngobrol, cantik, udah langsung aja nembak.” Jawabnya sambil menggerutu.
Jleb.
“Ya nggak semua
cowok kayak gitu, sih. Kamu aja yang belum ketemu sama cowok baik. Pasti masih
ada kok, pasti haha” jawabku santai.
Aku yakin, bukan trauma yang membuatnya berpikiran seperti
itu. Kalau aku bilang, dia mempelajari itu dari pengalaman dia, dari lingkungan,
atau mungkin juga dari ceritaku. Sembari mengendarai motor di tengah kemacetan
malam itu, dia mengajukan 3 pertanyaan yang kadang membuatku berpikir, “well yeah aku kalah”. Penasaran? Yuk
deh, simak percakapan antara aku dan adikku ini!
“Mbak, milih disakiti atau menyakiti?” tanya adikku
tiba-tiba.
Mikir bentar. “Menyakiti” jawabku singkat tapi ragu.
“Tapi kalau bisa tidak menyakiti dan merasa disakiti, ya aku
pilih itu lah”, imbuhku.
“Kenapa?”, tanya dia.
“Karena disakiti itu ternyata sakit. Pengalaman dari si korban
lho ini. Hahaha”
“Tapi kalau aku mending disakiti aja mbak.”
“Gundulmu” ceplosku spontan. Ya, mana ada coba, kakak yang
tega adiknya disakiti.
“Ya mending disakiti mbak,
karena dari sakit itu kita bisa belajar buat jadi lebih kuat, lebih baik lagi.”
Dalam hati, “Belum tahu aja nih
bocah gimana rasanya sakit. Hahaha. Tapi banyak benernya juga sih apa kata dia. Tapi karena pilihannya
cuma satu, yaa aku kalah.”
Lanjut ke pertanyaan selanjutnya,
“Mbak,
milih hidup di zaman dulu atau sekarang?”
“Zaman dulu”
“Aku juga. Apalagi dulu manusia
masih dekat banget sama alam. Masih bisa mandi di sungai. Masih banyak anak
main di lapangan. Pean tahu lah hobiku.”
“Tumben lah ya kita samaan.
Kalau aku milih zaman dulu karena dulu aku nggak
pernah ditanyain kapan aku nikah kayak sekarang. Hahaha” *yang ini
bercanda*
Pertanyaan terakhir malam itu,
“Mbak, pean paling nggak suka sama cowok yang kayak gimana?
Dan suka sama cowok yang kayak gimana?”
“Aku paling nggak suka sama cowok yang males-malesan, kurang greget gitu. Kalau
versi kulinernya, kurang nggigit. Kalau
suka, aku suka cowok yang cekatan, yang tanggung jawab, yang punya banyak
temen, sama yang lucuu. Dan yang jelas yang mau ngajak aku belajar agama
bareng. Habluminallah-nya dapet, habluminannas-nya
juga. Kalau pinter yaa itu poin plus
banget lah. Hahaha”
“Kayak pemain basket dan anak
band gitu ya, Mbak?”, ngomong sambil meringis ngece.
“Sial lu.”
“Kalau romantis? Kayaknya yang deketin pean dulu romantis
romantis gila.”
“Iyaya, mungkin mereka pada
mikir kalau penyuka drama korea pasti sukanya yang romantis-romantis. Ya nggak juga sih. Kalau romantis terus
juga eneg. Aku sebenernya suka sama
cowok yang cuek tapi sweet gitu. Cuek
sama yang lain tapi kalau sama aku nggak.
Udahlah, jangan cowok mulu bahasannya. Kalau nggak bosen ya baper. Lu tuh katanya mau ngalahin aku! Kapan?”
“Ngalahin tinggi maksudnya? Kan
udah”
“Gua tinggalin disini elu yaa”
YAP,
cerita malam itu berakhir dengan candaan mengenai tinggi badanku yang selalu
menjadi topik ejekan. Tapi diluar itu aku bersyukur karena adikku bukan adik
yang kekinian dalam konotasi negatifnya. Apalagi aku tahu aku nggak mungkin bisa membendung arus “informasi”
yang masuk ke dia apalagi koneksi internet sedang lancar-lancarnya, pun aksi
pacaranisme yang marak terjadi di sekitarnya. Satu hal yang bisa aku lakukan
dari jauh adalah kepo dengani semua akun sosialnya. Dengan itu setidaknya aku
bisa tahu sedikit hal yang terjadi padanya. Menerka-nerka masalahnya. Sebagai kakak
aku hanya ingin dia mendapatkan perhatian lebih yang dulu tidak aku dapatkan, mendapatkan
teman cerita yang nyambung dengan topik kekinian, yang menjawab setiap soal IPA
matematika yang dia kirimkan, yang bisa mengarahkan bukan hanya menyuruh
belajar, yang bisa dia andalkan. Jadi masih haruskah aku bilang sayang?
Enggak sesuai dengan judul
BalasHapus