Senin, 16 Mei 2016

Percakapan Antara Kakak dan Adik




                Anastasya, nama yang sering disalahucapkan banyak guru ketika memanggil namaku. Itu memang bukan namaku sih, tetapi bukan berarti tak ada hubungannya denganku. Kebanyakan teman dekatku pasti mengerti jika itu adalah nama adik paling bungsuku. Yap, namanya Anastasya Tri Andriani Hidayat. Dulu dia jauh lebih pendek dari aku tetapi sekarang dia sudah menyamai tinggiku. Usianya baru 14 tahun. Waktu itu secepat ini ya. Nggak terasa. Sifat, hobi, dan kepribadian adikku itu jauh berbeda jika dibandingkan denganku. Jika dia suka tantangan maka aku lebih suka ketenangan. Ya begitulah.
                Kalau ngobrolin soal asmara, jangan ditanya deh berapa orang yang sudah nembak dia, banyak. Mulai dari semua temen sekelasnya, luar kelas, kakak kelas, atau bahkan beda sekolah. Dan semua....ditolaknya. Hahaha. Sedikit banyak itu karena hasil doktrinasiku biar dia nggak pacaran dulu. Sesekali adalah karena perbuatanku yang sengaja membalas setiap chat yang masuk ke HP adikku. Ya tahu lah ya, bagaimana bahayanya pacaran versi anak kekinian. Nakutin, banget. Namun bersyukurnya, adikku mengerti apa yang aku takutkan. Bagi dia, sekalipun dia punya pacar, dia bakal lebih memilih pacaran virtual ala-ala LDR daripada pacaran yang deket-deketan. “Soalnya kalau LDR itu kita nggak perlu sering ketemu, nggak ganggu.”, katanya padaku.
                Kalau bisa ngiri gitu, aku ngiri banget sama adekku meskipun bangga juga sih. Gimana nggak ngiri, tingginya dapet, wajah juga, pinter iya, aktif banget juga dan yang paling penting jiwa humanis dia itu tinggi banget. Baru masuk tahun pertama di SMP, dia sudah ditunjuk jadi kader remaja. Tak lama berselang dia jadi penggiat Forum Anak Kota Mojokerto. Ditunjuk jadi sekretaris pula. Gils bener daaah! Beda banget sama aku dulu waktu SMP yang tahunya cuma “buku”. Membosankan.
                Di usianya yang masih belia, pemikirannya sudah dewasa. Sabtu malam, 14 Mei 2016, aku ngajak adikku keluar buat beli jajanan dan oleh-oleh. Seperti biasanya, malam minggu selalu identik dengan macetnya jalanan oleh lalu lalang orang mencari hiburan atau sekedar hang out bersama keluarga atau teman. Tiba-tiba adikku nyletuk,”Mbak,mesti ya sabtu minggu gitu banyak cewek cowok yang keluar pacaran, pegangan tangan, atau apa gitu. Gitu itu kan nyontohin yang jelek sama anak-anak yang masih kecil, yang belum ngerti apa-apa. Gimana anak kecil bisa nggak tahu istilah pacaran kalau lihat sekelilingnya kayak gitu. Jomblo itu kayak aib besar gitu mbak sekarang.”
                Dengan spontannya aku bilang, “Makanya persepsi tentang jomblo itu perlu dilurusin. Kalau kata temenku ada 3 kriteria orang jomblo, jomblo yang pertama itu jomblo yang pemilih, kedua adalah jomblo yang emang nggak laku, dan jomblo yang terakhir adalah jomblo pilih-pilih padahal nggak laku.”
                Dia jawab, “Fak mbak, hahahaha. Tapi zaman pean dulu kan nggak ada istilah jones (jomblo ngenes)” sambil ketawa terbahak-bahak diatas motor yang kukendarai.
                Kemudian aku diam sejenak. Kembali memikirkan kata-kata adikku yang secara tidak langsung juga menamparku sebagai orang dewasa, sebagai orang yang juga pernah ngajak (mantan) pacar jalan bareng sama keluarga, orang yang pernah mencontohkan hal yang tidak baik padanya. Dalam hati, “Gila, nih bocah sengaja nyindir gua apa gimana.” Soalnya dia akrab sama mantanku (dulu). Merasa salah? Jelas. Dengan sedikit menahan rasa malu, aku mulai melanjutkan pembicaraanku, menasehatinya bak orang yang paling benar seantero jagad raya,”Makanya kamu jangan pacaran dulu, aku yang udah kerja aja belum punya pacar. Kamu tahu kan gimana aku pas putus dulu? Duh, banyak nggak enaknya lah. Mending haha hihi aja dulu, nggak usah nyoba apalagi yang kenal lewat dunia maya gitu. Serem lah.”
Pean tahu a mbak? Anak sekelas lho pernah nembak aku semua, anak kelas 8 ada 4 orang, anak kelas 9 ada 1 orang. Cowok itu kok gampang gitu ya kayaknya kalau mau nembak cewek, Mbak? Sekedar nyaman chat, nyambung ngobrol, cantik, udah langsung aja nembak.” Jawabnya sambil menggerutu.

Jleb.

“Ya nggak semua cowok kayak gitu, sih. Kamu aja yang belum ketemu sama cowok baik. Pasti masih ada kok, pasti haha” jawabku santai.

Aku yakin, bukan trauma yang membuatnya berpikiran seperti itu. Kalau aku bilang, dia mempelajari itu dari pengalaman dia, dari lingkungan, atau mungkin juga dari ceritaku. Sembari mengendarai motor di tengah kemacetan malam itu, dia mengajukan 3 pertanyaan yang kadang membuatku berpikir, “well yeah aku kalah”. Penasaran? Yuk deh, simak percakapan antara aku dan adikku ini!
“Mbak, milih disakiti atau menyakiti?” tanya adikku tiba-tiba.
Mikir bentar. “Menyakiti” jawabku singkat tapi ragu.
“Tapi kalau bisa tidak menyakiti dan merasa disakiti, ya aku pilih itu lah”, imbuhku.
“Kenapa?”, tanya dia.
“Karena disakiti itu ternyata sakit. Pengalaman dari si korban lho ini. Hahaha”
“Tapi kalau aku mending disakiti aja mbak.”
“Gundulmu” ceplosku spontan. Ya, mana ada coba, kakak yang tega adiknya disakiti.
                “Ya mending disakiti mbak, karena dari sakit itu kita bisa belajar buat jadi lebih kuat, lebih baik lagi.”
                Dalam hati, “Belum tahu aja nih bocah gimana rasanya sakit. Hahaha. Tapi banyak benernya juga sih apa kata dia. Tapi karena pilihannya cuma satu, yaa aku kalah.”

Lanjut ke pertanyaan selanjutnya,
                “Mbak, milih hidup di zaman dulu atau sekarang?”
                “Zaman dulu”
                “Aku juga. Apalagi dulu manusia masih dekat banget sama alam. Masih bisa mandi di sungai. Masih banyak anak main di lapangan. Pean tahu lah hobiku.”
                “Tumben lah ya kita samaan. Kalau aku milih zaman dulu karena dulu aku nggak pernah ditanyain kapan aku nikah kayak sekarang. Hahaha” *yang ini bercanda*
               
Pertanyaan terakhir malam itu,
                “Mbak, pean paling nggak suka sama cowok yang kayak gimana? Dan suka sama cowok yang kayak gimana?”
                “Aku paling nggak suka sama cowok yang males-malesan, kurang greget gitu. Kalau versi kulinernya, kurang nggigit. Kalau suka, aku suka cowok yang cekatan, yang tanggung jawab, yang punya banyak temen, sama yang lucuu. Dan yang jelas yang mau ngajak aku belajar agama bareng.  Habluminallah-nya dapet, habluminannas-nya juga. Kalau pinter yaa itu poin plus banget lah. Hahaha”
                “Kayak pemain basket dan anak band gitu ya, Mbak?”, ngomong sambil meringis ngece.
                “Sial lu.”
“Kalau romantis? Kayaknya yang deketin pean dulu romantis romantis gila.”
                “Iyaya, mungkin mereka pada mikir kalau penyuka drama korea pasti sukanya yang romantis-romantis. Ya nggak juga sih. Kalau romantis terus juga eneg. Aku sebenernya suka sama cowok yang cuek tapi sweet gitu. Cuek sama yang lain tapi kalau sama aku nggak. Udahlah, jangan cowok mulu bahasannya. Kalau nggak bosen ya baper. Lu tuh katanya mau ngalahin aku! Kapan?”
                “Ngalahin tinggi maksudnya? Kan udah”
                “Gua tinggalin disini elu yaa”

YAP, cerita malam itu berakhir dengan candaan mengenai tinggi badanku yang selalu menjadi topik ejekan. Tapi diluar itu aku bersyukur karena adikku bukan adik yang kekinian dalam konotasi negatifnya. Apalagi aku tahu aku nggak mungkin bisa membendung arus “informasi” yang masuk ke dia apalagi koneksi internet sedang lancar-lancarnya, pun aksi pacaranisme yang marak terjadi di sekitarnya. Satu hal yang bisa aku lakukan dari jauh adalah kepo dengani semua akun sosialnya. Dengan itu setidaknya aku bisa tahu sedikit hal yang terjadi padanya. Menerka-nerka masalahnya. Sebagai kakak aku hanya ingin dia mendapatkan perhatian lebih yang dulu tidak aku dapatkan, mendapatkan teman cerita yang nyambung dengan topik kekinian, yang menjawab setiap soal IPA matematika yang dia kirimkan, yang bisa mengarahkan bukan hanya menyuruh belajar, yang bisa dia andalkan. Jadi masih haruskah aku bilang sayang?

1 komentar: