Kamis, 26 Mei 2016

Surga di Bumi Semarang





Hai, perkenalkan namaku Anistia Malinda Hidayat! Terhitung sejak 1 Januari 2016 aku resmi menjadi pegawai Stasiun Meteorologi Klas II Ahmad Yani Semarang dengan jabatan pemeriksa cuaca. Iya, pemeriksa cuaca.  Baru denger? Sama. Ternyata bukan hanya manusia yang perlu diperiksa, cuaca pun juga. Penanganan makhluk astral bernama cuaca jelas berbeda dengan manusia. Saat memeriksa manusia, mungkin seorang dokter bisa bertanya, “Sakit di daerah mananya, pak?”. Tetapi bayangkan pada siapa kamu harus bertanya, “Tinggi dasar awan stratocumulus itu berapa meter, Mbak?” atau “Jarak pandang runway 31 berapa, Mbak?”. No one, except yourself.
Yap! Pekerjaan pemeriksa cuaca itu lebih mengenai kepekaan seseorang dalam merasakan dan mengamati “perasaan” cuaca pada hari itu. Tidak semua memang, karena ada beberapa parameter cuaca yang dapat diukur seperti suhu, suhu titik embun, kelembapan, tekanan, arah dan kecepatan angin. Selain melakukan pengamatan udara di sekitar permukaan stasiun, stasiun meteorologi kelas II penerbangan juga diwajibkan melakukan pengolahan data angin udara atas.
Sebagai salah satu instansi yang diperbantukan untuk kepentingan penerbangan, seorang pemeriksa cuaca juga diwajibkan melaporkan kondisi cuaca setiap 30 menit sekali dan mengirimkan datanya secara realtime. Selain bekerja layaknya dokter dan pilot, seorang pemeriksa cuaca juga berperan layaknya customer service. Bagaimana tidak, seorang pemeriksa cuaca juga harus siap 24 jam saat dimintai data cuaca oleh pengguna yang biasanya berasal dari pihak Air Traffic Control (ATC), TNI PENERBAD, AURI, atau dari pihak maskapai penerbangan.
Hal baru lain yang aku alami selama bekerja di sini adalah pengalaman menjadi satu-satunya wanita yang bekerja di antara para pria, beristri. Perbedaan gender seringkali berujung pada perbedaan topik obrolan yang seringkali susah aku mengerti. Saat membicarakan masalah otomotif misalnya, aku hanya bisa tertunduk lesu menatap layar HP ku, bukan bermaksud tak menghargai tetapi karena aku tak mengerti apapun tentang itu. Namun menjadi wanita seorang diri tidak melulu menyedihkan. Justru karena kesendirianku inilah setiap orang seakan menjadi bapak dan kakak yang begitu baik terhadapku, yang mengayomi, melindungi, dan memberi wejangan ini itu. Bukan hanya dinasehati perihal bagaimana baiknya menjadi istri, bagaimana pentingnya berinvestasi, bagaimana mengelola keuangan, tetapi urusan pribadi perihal kisah asmaraku juga disoroti. Ckck.
Menjadi akrab dengan beliau-beliau adalah bagian dari perjuangan. Apalagi bagiku yang cenderung tertutup dan sedikit pendiam. Sebagai anak bawang, aku berusaha membunuh muka cuekku dan memupuk aura ramahku. Menyapa senior-senior terlebih dahulu, tetap tersenyum meski lelah, tetap tersenyum meski responnya nadzubillah. Candaan mengenai perjodohanku dengan salah seorang pegawai yang belum menikah menjadi katalisator kedekatanku dengan pegawai-pegawai lainnya. Jadi mau tidak mau, aku harus mengakui jika aku juga bersyukur atas ritual perjodohan itu.

Semarang Surga Kuliner
            Sebagai ibukota Provinsi Jawa Tengah, macetnya Kota Semarang hampir menyamai macetnya jalanan Ibukota Jakarta. Panasnya juga kurang lebih sama. Tapi kalau masalah makanan, jangan ditanya karena Semarang adalah surganya. Biasanya, aku itu kurang suka sama yang namanya makanan khas, tetapi di Semarang hampir semuanya aku doyan!  Meskipun bertubuh kecil dan berbadan kurus, tapi kalau soal icip-icip makanan aku boleh banget diajak hehe. Yuk deh kita berkuliner ria!
Yang pertama namanya Tahu Gimbal

 
 Renyahnya potongan peyek udang dan gurihnya tahu yang disiram dengan saus kacang pedas membuat rasa makanan yang satu ini susah dilupakan. Harganya juga bersahabat, rata-rata di bawah 20 ribu. Kalau di Jawa Timur rasa saus kacangnya mirip-mirip dengan tahu tek cuma ini nggak pakai petis dan sayurnya bukan tauge tapi sayur kol sama timur yang dicacah halus. Sebagai tambahan nilai karbohidrat, tahu gimbal juga dilengkapi dengan lontong. Kriuknya cacahan kol dan segarnya timun juga dipadu dengan gurihnya kerupuk udang yang disajikan sebagai toping diatasnya. Ntaaps gan!
 


 
Leker menjadi jajanan yang digemari bukan hanya oleh anak-anak tetapi juga orang dewasa. Di Semarang, ada penjual leker yang menjadi topik paling populer (paling direkomendasikan) saat aku mengetik kata “leker” di mbah google, namanya Leker Paimo. Meskipun berjualan di pinggir jalan menggunakan gerobak yang di dorong, tapi kalau mau beli leker yang satu ini kamu harus mengantri beberapa waktu apalagi saat jam istirahat anak sekolah, wuihhh berjam-jam. Aku juga bertanya-tanya, apa sih yang membuat leker Pak Paimo ini istimewa? Dan ternyata terletak pada topingnyaaa!
            Bayangin jajanan kaki lima tapi topingnya beraneka ragam bahkan sedia tuna dan keju mozarella. Antimainstream. Harganya juga termasuk murah. Leker coklat biasa masih seribu tapi kalau pakai tuna mozarella jangan heran jika harganya bisa mencapai 20-an ribu rupiah. Kemasannya sih biasa-biasa saja tapi rasanya itu lho! Menggigit, gan! Leker yang paling laris disini cenderung leker yang berasa asin dan gurih. Tapi karena aku doyan yang manis-manis jadi aku lebih suka pakai toping keju, selai, atau pisangnya. Bedanya lagi, jika toping pada leker biasanya cenderung minimalis, toping Leker Paimo itu jauh lebih tebel dibandingkan kulitnya. Bisa sampai 10 kali lebar kulitnya mungkin. Jadi mengenyangkan dan harganya sesuai juga.

                
Beralih ke oleh-oleh khas Semarang, ya! Selain segudang makanan khas, Semarang juga punya beraneka ragam cita rasa oleh-oleh yang bisa di bawa pulang. Salah satu yang palig terkenal adalah lumpianya. Dibandingkan dengan lumpia yang pernah aku makan, lumpia Semarang memiliki aroma yang khas, yaitu aroma rebungnya. Bagi yang belum tahu, rebung adalah tunas muda yang tumbuh dari akar bambu. Berbeda dengan lumpia biasanya yang biasanya berisikan sayur atau mie, isi dari lumpia Semarang itu lebih mewah yaitu perpaduan antara rebung dengan udang, kepiting, atau daging. Jadi jangan kaget jika harganya bisa mencapai Rp 16.000,- per bijinya. Per biji sodara sodaraaa! Jadi jika satu kotak normalnya berisi 10 biji, maka bisa dihitung sendiri ya hehehe. Rasa gurih dari udang dan kriyuk kulit lumpianya itu kadang membuatku mewajari mengapa harganya bisa sampai segitu hihihi.
 

 
Oleh-oleh lain yang juga enak adalah Kue Moaci. Kue moaci ini mirip dengan kue moci-moci. Mungil dan berisi. Manis juga pastinya. Dulu kue moaci itu biasa berisikan kacang yang ditumbuk halus kemudian dibalut dengan adonan tepung entah dari apa itu bikinnya, pokoknya so smooth dan agak kenyal seperti permen y*uppy. Bagian luarnya biasanya ditaburi dengan wijen atau tepung tanpa rasa, jadi kayak dibedakin gitu kuenya. Gurihnya kacangnya itu yang bikin pengen nambah lagi. Selain kacang, kini kue moci juga divariasikan dengan isian coklat, durian, keju, dan lain-lainnya.

“Mbak, Mau Saya Carikan Pacar?”
            Tiga bulan hidup di perantaun membuatku akrab dengan penduduknya yang sangat welcome terhadap pendatang baru. Baru tiga bulan, kami sudah merasa seperti keluarga baru. Tetangga terdekatku, Bu Sum, bahkan sudah seperti ibuku sendiri dalam hal mengontrol makanku.
            “Baru pulang kerja ya kok lesu amat.”
            “Hehe iya, bu. Dines siang.”
“Ini ibu mau bikin oseng sayur sawi. Kamu udah lama nggak makan sayur kan? Nanti makan, ya?”
            “Waaah, mau bu. Okedeh, aku mandi dulu ya buk”
Yap. Kebaikan yang kita lakukan, sedekah yang kita berikan, itu memang nggak melulu dibalas kembali dengan “uang”. Bisa jadi suatu saat kita berbuat baik pada seseorang, tetapi orang tersebut justru berbuat sebaliknya pada kita. Sedih nggak sih? Pasti.  Tapi jangan sampai kita terpikir untuk menyesali perbuatan baik kita padanya. Padahal susah banget ini prakteknya haha. Sejauh ini aku percaya jika kebaikan itu pasti akan dibalas dengan kebaikan, pasti. Tetapi oleh siapa dan kapan itu adalah rahasia Ilahi yang hendak dijadikan kejutan untuk kita. Seperti biasa, tanah perantauan selalu mendidikku hidup sendiri tanpa ada kerabat sama sekali, tetapi Allah seakan mempertemukanku dengan beribu sosok baik hati yang sebelumnya tidak pernah aku ketahui. Allah memang seromantis ini, pikirku.
 


 
Selain bertemu dengan tetangga yang baik dan rekan kerja yang asyik, aku juga bertemu dengan anak-anak yang manis. Namun sayangnya mereka hidup dalam lingkungan yang kurang beruntung, baik dari segi ekonomi, pendidikan, dan sudut pandang. Itu menurutku. Selama beberapa kali belajar bersama, aku menyadari satu hal jika nilai-nilai “kesinetronan” meresap sempurna dalam pikiran mereka. Bagaimana tidak, sejak kelas 1 SD saja mereka sudah berpacaran. 1 SD mamen! Dan obrolan mereka itu begitu, ah sudahlah. Pendidikan seakan bukan menjadi prioritas. Orang tua mereka tahunya cuma marah kalau mereka dapat nilai jelek. Potret kebanyakan orang tua Indonesia sih kayaknya.

“Ini udah pada punya pacar semua?”
“Iya mbak, ya kalau nggak punya pacar gitu cupu lah.”
“Aku cupu berarti ya hahaha”
“Loh, masak Mbak nggak punya pacar? Mau tak carikan ta, Mbak? Aku punya kenalan temen-temennya kakakku banyak.”
            Dalam hati, “Aku jones banget nggak sih kalau pacar aja sampe dicarikan sama anak SD? Hahaha”

            Aku bukannya iri dengan mereka yang sudah pacaran. Bukan, bukan sama sekali. Dalam lubuk hati yang paling dalam, aku sebenernya begitu miris, kasihan gitu. Di saat masanya mereka yang seharusnya cuma tahu sekolah dan main, tetapi sekarang mereka harus ngerasain galau-galau putus, sakitnya luka, dan pikiran-pikiran lain yang belum waktunya. Kok terdengar curcol gini yaa. Okeoke maapkan haha.
           
“Mbak nilai ku ujian kemarin ada yang jelek banget masak. Banyak sih. Huhu”
            “Lah kebanyakan pacaran paling hehe. Pacarnya dapat nilai bagus nggak?
            “Ada yang pinter, Mbak, pacaranya dia” sahut salah seorang yang lain
            “Ada? Banyak dong pacarnya?” Berpikir keras
            “Iya mbak, pacarnya dia banyak banget kok”
            “Mau diapain kalau punya banyak pacar emang? Hahaha”
            “Nggak kok, Mbak. Sekarang cuma tinggal 2”

((tinggal dua)) sodara sodaraaaa! Duh jan nggak abis pikir dah.

Jika dikaitkan dengan darurat kekerasan seksual yang akhir-akhir ini semakin tragis terjadi, merebaknya aktivitas pacaran terlalu dini dapat menjadi tolok ukur betapa mulai familiarnya anak-anak dengan kehidupan “orang dewasa”. Jadi kayak mulai mewajari gitu. Di Mojokerto bahkan ada seorang murid SD yang berani memperkosa murid SMP. Kisah tragis lainnya dialami oleh Yuyun yang diperkosa oleh 14 orang yang beberapa diantaranya masih berada di bawah umur. *miris, nangis cakar-cakar tanah*

Lantas, siapa yang salah?

Pasti banyak yang pada nyalahin pelakunya. Ya memang biadab, memang salah. Tetapi ingat, pikiran anak-anak itu mirip-mirip mesin fotokopi. Melihat kakaknya, tetangganya, teman kelasnya yang berpacaran dan stigma ngenes-nya predikat jomblo di kalangan masyarakat, mau tidak mau membuat mereka “ingin” juga melakukannya. Jadi maksudnya, sebenernya kita juga punya sumbangsih atas hal tersebut. Meskipun kita tidak mencontohkannya, tetapi kita bisa jadi salah karena tidak mengingatnya.
            Tontonan mereka, pola asuh kedua orang tuanya, kontrol dan filter yang kurang membuat mereka tidak lagi bisa fokus pada hal-hal akademis atau bermain saja. Terlebih arus informasi sudah sedemikian derasnya dan kita juga nggak mungkin bisa membendungnya. Sehingga apa yang sedang aku coba lakukan adalah berusaha memasuki dunia mereka, mencoba mengerti, dan mempelajarinya. Ilmu yang aku dapatkan dari kelas parenting terkait dongeng juga coba aku terapkan saat kita belajar bersama. Seringnya aku sendiri yang menulis cerita dalam dongengnya. Mengingat dongeng-dongeng seperti Si Kancil sudah tidak lagi relevan dengan zaman.
            Kini, satu persatu dari mereka mulai memutuskan pacarnya dan lebih sering datang ke kos meskipun untuk sekedar ercerita, ngajak jalan bareng, atau membaca dongeng baru yang aku buat. Meskipun masih sesedehana putus dengan pacarnya, bagiku itu adalah pencapaian yang luar biasa. Bagi seorang pengajar, tidak ada yang lebih indah dibandingkan kesuksesan anak didiknya. Dan kini aku mengeti benar apa maksudnya. Mengenal lebih banyak orang dari berbagai latar belakang membuatku merasa kaya akan sudut pandang tetapi mengenal mereka yang aku rasa kurang beruntung membuatku bisa sering-sering mensyukuri nikmat Tuhan.
Yap, ini adalah secuil kisah yang membuatku begitu betah di tanah rantauan, seakan menemukan surga di bumi Semarang.

7 komentar:

  1. Ah leker yang difotomu keliatan enak banget! Soalnya biasanya kalo di Solo leker adanya yang manis dan tetep sih jadi favorit. Worth to try nih kayaknya kalo ke Semarang. Miris bacanya yang bagian anak kelas 1 SD udah pada pacaran sementara kita-kita aja masih kek gini aja haha. Selamat menempuh kehidupan baru di penempatan baru Isti :)x

    Dayu, Fairytale Odyssey

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yeay! worth to try banget daay ^^

      Selamat menempuh hidup baru juga ya day. Semakin betah di jakarta hihihi 😁

      Hapus
  2. Mbak mau dicariin pacar nggak? :p

    BalasHapus
  3. Miris di bagian anak SD :( , tpi overall keren is , kompor gas !!! (y)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya miris banget :(
      Yap, gas terus semangat teruss (y)

      Hapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus