Hai, perkenalkan namaku Anistia Malinda Hidayat!
Terhitung sejak 1 Januari 2016 aku resmi menjadi pegawai Stasiun Meteorologi
Klas II Ahmad Yani Semarang dengan jabatan pemeriksa cuaca. Iya, pemeriksa
cuaca. Baru denger? Sama. Ternyata bukan
hanya manusia yang perlu diperiksa, cuaca pun juga. Penanganan makhluk astral
bernama cuaca jelas berbeda dengan manusia. Saat memeriksa manusia, mungkin
seorang dokter bisa bertanya, “Sakit di daerah mananya, pak?”. Tetapi bayangkan
pada siapa kamu harus bertanya, “Tinggi dasar awan stratocumulus itu berapa
meter, Mbak?” atau “Jarak pandang runway 31
berapa, Mbak?”. No one, except yourself.
Yap! Pekerjaan
pemeriksa cuaca itu lebih mengenai kepekaan seseorang dalam merasakan dan
mengamati “perasaan” cuaca pada hari
itu. Tidak semua memang, karena ada beberapa parameter cuaca yang dapat diukur
seperti suhu, suhu titik embun, kelembapan, tekanan, arah dan kecepatan angin. Selain
melakukan pengamatan udara di sekitar permukaan stasiun, stasiun meteorologi
kelas II penerbangan juga diwajibkan melakukan pengolahan data angin udara
atas.
Sebagai salah satu instansi yang diperbantukan untuk
kepentingan penerbangan, seorang pemeriksa cuaca juga diwajibkan melaporkan
kondisi cuaca setiap 30 menit sekali dan mengirimkan datanya secara realtime. Selain bekerja layaknya dokter
dan pilot, seorang pemeriksa cuaca juga berperan layaknya customer service. Bagaimana tidak, seorang pemeriksa cuaca juga harus siap 24 jam saat dimintai
data cuaca oleh pengguna yang biasanya berasal dari pihak Air Traffic Control (ATC), TNI PENERBAD, AURI, atau dari pihak maskapai
penerbangan.
Hal baru lain yang aku alami selama bekerja di sini
adalah pengalaman menjadi satu-satunya
wanita yang bekerja di antara para pria, beristri. Perbedaan gender seringkali berujung pada
perbedaan topik obrolan yang seringkali susah aku mengerti. Saat membicarakan
masalah otomotif misalnya, aku hanya bisa tertunduk lesu menatap layar HP ku,
bukan bermaksud tak menghargai tetapi karena aku tak mengerti apapun tentang
itu. Namun menjadi wanita seorang diri tidak melulu menyedihkan. Justru karena
kesendirianku inilah setiap orang seakan menjadi bapak dan kakak yang begitu
baik terhadapku, yang mengayomi, melindungi, dan memberi wejangan ini itu. Bukan hanya dinasehati perihal bagaimana baiknya
menjadi istri, bagaimana pentingnya berinvestasi, bagaimana mengelola keuangan,
tetapi urusan pribadi perihal kisah asmaraku juga disoroti. Ckck.
Menjadi akrab dengan beliau-beliau adalah bagian
dari perjuangan. Apalagi bagiku yang cenderung tertutup dan sedikit pendiam.
Sebagai anak bawang, aku berusaha membunuh muka cuekku dan memupuk aura
ramahku. Menyapa senior-senior terlebih dahulu, tetap tersenyum meski lelah,
tetap tersenyum meski responnya nadzubillah.
Candaan mengenai perjodohanku dengan salah seorang pegawai yang belum menikah
menjadi katalisator kedekatanku dengan pegawai-pegawai lainnya. Jadi mau tidak
mau, aku harus mengakui jika aku juga bersyukur atas ritual perjodohan itu.
Semarang
Surga Kuliner
Sebagai
ibukota Provinsi Jawa Tengah, macetnya Kota Semarang hampir menyamai macetnya
jalanan Ibukota Jakarta. Panasnya juga kurang lebih sama. Tapi kalau masalah
makanan, jangan ditanya karena Semarang adalah surganya. Biasanya, aku itu kurang suka sama yang namanya makanan khas,
tetapi di Semarang hampir semuanya aku doyan! Meskipun bertubuh kecil dan berbadan kurus,
tapi kalau soal icip-icip makanan aku
boleh banget diajak hehe. Yuk deh kita berkuliner ria!
Yang
pertama namanya Tahu Gimbal
Renyahnya potongan peyek udang dan gurihnya tahu
yang disiram dengan saus kacang pedas membuat rasa makanan yang satu ini susah
dilupakan. Harganya juga bersahabat, rata-rata di bawah 20 ribu. Kalau di Jawa
Timur rasa saus kacangnya mirip-mirip dengan tahu tek cuma ini nggak pakai petis dan sayurnya bukan
tauge tapi sayur kol sama timur yang dicacah halus. Sebagai tambahan nilai
karbohidrat, tahu gimbal juga dilengkapi dengan lontong. Kriuknya cacahan kol
dan segarnya timun juga dipadu dengan gurihnya kerupuk udang yang disajikan
sebagai toping diatasnya. Ntaaps gan!
Leker menjadi jajanan yang digemari bukan hanya oleh
anak-anak tetapi juga orang dewasa. Di Semarang, ada penjual leker yang menjadi
topik paling populer (paling direkomendasikan) saat aku mengetik kata “leker”
di mbah google, namanya Leker Paimo. Meskipun
berjualan di pinggir jalan menggunakan gerobak yang di dorong, tapi kalau mau
beli leker yang satu ini kamu harus mengantri beberapa waktu apalagi saat jam
istirahat anak sekolah, wuihhh berjam-jam. Aku juga bertanya-tanya, apa sih
yang membuat leker Pak Paimo ini istimewa? Dan ternyata terletak pada
topingnyaaa!
Bayangin jajanan kaki lima tapi
topingnya beraneka ragam bahkan sedia tuna dan keju mozarella. Antimainstream. Harganya juga termasuk
murah. Leker coklat biasa masih seribu tapi kalau pakai tuna mozarella jangan
heran jika harganya bisa mencapai 20-an ribu rupiah. Kemasannya sih biasa-biasa
saja tapi rasanya itu lho! Menggigit,
gan! Leker yang paling laris disini cenderung leker yang berasa asin dan gurih.
Tapi karena aku doyan yang manis-manis
jadi aku lebih suka pakai toping keju, selai, atau pisangnya. Bedanya lagi,
jika toping pada leker biasanya cenderung minimalis, toping Leker Paimo itu
jauh lebih tebel dibandingkan
kulitnya. Bisa sampai 10 kali lebar kulitnya mungkin. Jadi mengenyangkan dan
harganya sesuai juga.
Beralih ke oleh-oleh khas Semarang, ya! Selain
segudang makanan khas, Semarang juga punya beraneka ragam cita rasa oleh-oleh
yang bisa di bawa pulang. Salah satu yang palig terkenal adalah lumpianya.
Dibandingkan dengan lumpia yang pernah aku makan, lumpia Semarang memiliki
aroma yang khas, yaitu aroma rebungnya. Bagi yang belum tahu, rebung adalah
tunas muda yang tumbuh dari akar bambu. Berbeda dengan lumpia biasanya yang
biasanya berisikan sayur atau mie, isi dari lumpia Semarang itu lebih mewah
yaitu perpaduan antara rebung dengan udang, kepiting, atau daging. Jadi jangan
kaget jika harganya bisa mencapai Rp 16.000,- per bijinya. Per biji sodara
sodaraaa! Jadi jika satu kotak normalnya berisi 10 biji, maka bisa dihitung
sendiri ya hehehe. Rasa gurih dari udang dan kriyuk kulit lumpianya itu kadang
membuatku mewajari mengapa harganya bisa sampai segitu hihihi.
Oleh-oleh lain yang juga enak adalah Kue Moaci. Kue
moaci ini mirip dengan kue moci-moci. Mungil dan berisi. Manis juga pastinya.
Dulu kue moaci itu biasa berisikan kacang yang ditumbuk halus kemudian dibalut
dengan adonan tepung entah dari apa itu bikinnya, pokoknya so smooth dan agak kenyal seperti permen
y*uppy. Bagian luarnya biasanya ditaburi dengan wijen atau tepung tanpa rasa,
jadi kayak dibedakin gitu kuenya. Gurihnya kacangnya itu yang bikin pengen
nambah lagi. Selain kacang, kini kue moci juga divariasikan dengan isian
coklat, durian, keju, dan lain-lainnya.
“Mbak,
Mau Saya Carikan Pacar?”
Tiga
bulan hidup di perantaun membuatku akrab dengan penduduknya yang sangat welcome terhadap pendatang baru. Baru
tiga bulan, kami sudah merasa seperti keluarga baru. Tetangga terdekatku, Bu
Sum, bahkan sudah seperti ibuku sendiri dalam hal mengontrol makanku.
“Baru pulang kerja ya kok lesu
amat.”
“Hehe iya, bu. Dines siang.”
“Ini ibu mau bikin oseng sayur
sawi. Kamu udah lama nggak makan
sayur kan? Nanti makan, ya?”
“Waaah, mau bu. Okedeh, aku mandi
dulu ya buk”
Yap. Kebaikan yang kita lakukan, sedekah yang kita
berikan, itu memang nggak melulu
dibalas kembali dengan “uang”. Bisa jadi suatu saat kita berbuat baik pada
seseorang, tetapi orang tersebut justru berbuat sebaliknya pada kita. Sedih nggak sih? Pasti. Tapi jangan sampai kita terpikir
untuk menyesali perbuatan baik kita padanya. Padahal susah banget ini
prakteknya haha. Sejauh ini aku percaya jika kebaikan itu pasti akan
dibalas dengan kebaikan, pasti. Tetapi oleh siapa dan kapan itu adalah rahasia Ilahi
yang hendak dijadikan kejutan untuk kita. Seperti biasa, tanah perantauan
selalu mendidikku hidup sendiri tanpa ada kerabat sama sekali, tetapi Allah
seakan mempertemukanku dengan beribu sosok baik hati yang sebelumnya tidak
pernah aku ketahui. Allah memang seromantis ini, pikirku.
Selain bertemu dengan tetangga yang baik dan rekan
kerja yang asyik, aku juga bertemu dengan anak-anak yang manis. Namun sayangnya
mereka hidup dalam lingkungan yang kurang beruntung, baik dari segi ekonomi,
pendidikan, dan sudut pandang. Itu menurutku. Selama beberapa kali belajar bersama,
aku menyadari satu hal jika nilai-nilai “kesinetronan” meresap sempurna dalam
pikiran mereka. Bagaimana tidak, sejak kelas 1 SD saja mereka sudah berpacaran.
1 SD mamen! Dan obrolan mereka itu
begitu, ah sudahlah. Pendidikan seakan bukan menjadi prioritas. Orang tua
mereka tahunya cuma marah kalau mereka dapat nilai jelek. Potret kebanyakan
orang tua Indonesia sih kayaknya.
“Ini udah pada punya pacar semua?”
“Iya mbak, ya kalau nggak punya pacar gitu cupu lah.”
“Aku cupu berarti ya hahaha”
“Loh, masak Mbak nggak
punya pacar? Mau tak carikan ta, Mbak? Aku punya kenalan temen-temennya
kakakku banyak.”
Dalam hati, “Aku jones banget nggak sih kalau pacar aja sampe
dicarikan sama anak SD? Hahaha”
Aku bukannya iri dengan mereka yang
sudah pacaran. Bukan, bukan sama sekali. Dalam lubuk hati yang paling dalam,
aku sebenernya begitu miris, kasihan gitu. Di saat masanya mereka yang
seharusnya cuma tahu sekolah dan main, tetapi sekarang mereka harus ngerasain galau-galau putus, sakitnya
luka, dan pikiran-pikiran lain yang belum waktunya. Kok terdengar curcol
gini yaa. Okeoke maapkan haha.
“Mbak nilai ku ujian kemarin ada yang jelek banget
masak. Banyak sih. Huhu”
“Lah kebanyakan pacaran paling hehe.
Pacarnya dapat nilai bagus nggak?”
“Ada yang pinter, Mbak, pacaranya
dia” sahut salah seorang yang lain
“Ada? Banyak dong pacarnya?”
Berpikir keras
“Iya mbak, pacarnya dia banyak
banget kok”
“Mau diapain kalau punya banyak
pacar emang? Hahaha”
“Nggak kok, Mbak. Sekarang cuma
tinggal 2”
((tinggal
dua)) sodara sodaraaaa! Duh jan nggak abis pikir dah.
Jika dikaitkan dengan darurat kekerasan seksual yang
akhir-akhir ini semakin tragis terjadi, merebaknya aktivitas pacaran terlalu
dini dapat menjadi tolok ukur betapa mulai familiarnya anak-anak dengan kehidupan
“orang dewasa”. Jadi kayak mulai mewajari gitu. Di Mojokerto bahkan ada seorang
murid SD yang berani memperkosa murid SMP. Kisah tragis lainnya dialami oleh
Yuyun yang diperkosa oleh 14 orang yang beberapa diantaranya masih berada di
bawah umur. *miris, nangis cakar-cakar tanah*
Lantas,
siapa yang salah?
Pasti banyak yang pada nyalahin pelakunya. Ya memang
biadab, memang salah. Tetapi ingat, pikiran anak-anak itu mirip-mirip mesin
fotokopi. Melihat kakaknya, tetangganya, teman kelasnya yang berpacaran dan stigma
ngenes-nya predikat jomblo di
kalangan masyarakat, mau tidak mau membuat mereka “ingin” juga melakukannya.
Jadi maksudnya, sebenernya kita juga punya sumbangsih atas hal tersebut.
Meskipun kita tidak mencontohkannya, tetapi kita bisa jadi salah karena tidak
mengingatnya.
Tontonan mereka, pola asuh kedua orang
tuanya, kontrol dan filter yang kurang membuat mereka tidak lagi bisa fokus
pada hal-hal akademis atau bermain saja. Terlebih arus informasi sudah
sedemikian derasnya dan kita juga nggak mungkin
bisa membendungnya. Sehingga apa yang sedang aku coba lakukan adalah berusaha
memasuki dunia mereka, mencoba mengerti, dan mempelajarinya. Ilmu yang aku
dapatkan dari kelas parenting terkait dongeng juga coba aku terapkan saat kita
belajar bersama. Seringnya aku sendiri yang menulis cerita dalam dongengnya.
Mengingat dongeng-dongeng seperti Si Kancil sudah tidak lagi relevan dengan
zaman.
Kini, satu persatu dari mereka mulai
memutuskan pacarnya dan lebih sering datang ke kos meskipun untuk sekedar ercerita, ngajak jalan bareng, atau membaca dongeng baru yang aku buat. Meskipun masih sesedehana
putus dengan pacarnya, bagiku itu adalah pencapaian yang luar biasa. Bagi
seorang pengajar, tidak ada yang lebih indah dibandingkan kesuksesan anak
didiknya. Dan kini aku mengeti benar apa maksudnya. Mengenal lebih banyak orang
dari berbagai latar belakang membuatku merasa kaya akan sudut pandang tetapi
mengenal mereka yang aku rasa kurang beruntung membuatku bisa sering-sering
mensyukuri nikmat Tuhan.
Yap, ini adalah secuil kisah yang membuatku begitu
betah di tanah rantauan, seakan menemukan surga di bumi Semarang.
Ah leker yang difotomu keliatan enak banget! Soalnya biasanya kalo di Solo leker adanya yang manis dan tetep sih jadi favorit. Worth to try nih kayaknya kalo ke Semarang. Miris bacanya yang bagian anak kelas 1 SD udah pada pacaran sementara kita-kita aja masih kek gini aja haha. Selamat menempuh kehidupan baru di penempatan baru Isti :)x
BalasHapusDayu, Fairytale Odyssey
Yeay! worth to try banget daay ^^
HapusSelamat menempuh hidup baru juga ya day. Semakin betah di jakarta hihihi 😁
Mbak mau dicariin pacar nggak? :p
BalasHapusHaha kalau sama kamu aja boleh? :p
HapusMiris di bagian anak SD :( , tpi overall keren is , kompor gas !!! (y)
BalasHapusIya miris banget :(
HapusYap, gas terus semangat teruss (y)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus