Kamis, 12 Mei 2016

Diary Tanah Rantau Part #3



            


Belajar itu tidak mengenal kata kapan. Kapan mulai, kapan berlangsung, kapan berhenti, dimana, dengan siapa, entahlah. Tuhan seakan tak putus mengirimkan berbagai kode, beragam perantara agar kita dapat belajar. Contohnya saja, saat kamu diuji dengan kebahagiaan semisal baru saja jadian, sebaiknya kamu jangan terlalu senang dulu. Ketahuilah jika itu adalah juga bahan pembelajaran, agar kamu dapat belajar menerima kurangnya, hobinya, dirinya seutuhnya. Pun saat kamu sedang putus cinta, secara tidak langsung, Tuhan mengirim pesan agar kamu juga belajar, belajar ikhlas, menerima, dan meniti langkah untuk bangkit kembali. Aku berharap kamu dapat membaca pesanNya.

  Maaf, tapi Nona bukan sedang membicarakan soal asmara hihi. *gagal fokus* *timpuk sendal*

Kali ini Nona lebih menekankan betapa pentingnya seseorang punya pendirian, karakter yang kuat, terlebih saat terjun di dunia kerja. Belajar menjadi orang yang punya pendirian, itu yang Nona maksudkan. Well, sebelumnya Nona bakal sedikit bercerita. Ada seorang bapak yang mengatakan, “Atasan-atasan itu lebih seneng merekrut anak muda sebagai bawahannya. Ya kayak kamu, Nis. Kalau disuruh kan nggak mungkin nggak nurut. Pasti nggak enakan, kan? Jadi ya pasti nurut aja gitu. Apalagi statusnya masih bawahan pimpinan, masih baru. Kalau mereka korupsi, secara nggak langsung kamu bakal membantu memudahkan aksi mereka, jadi ikut korupsi meski sebenernya kamu nggak mau.”
 JLEEB!
Merasa nggak punya harga diri.
             Seseorang yang lain pernah bertanya pada Nona, “Jika suatu saat kamu menentukan jarak pandang adalah sebesar 4 km, kemudian orang tower (sebutan untuk pekerja di Air Traffic Control) “nawar” biar jarak pandang dilebihkan, dibuat 5 km misalnya. Atau mereka tidak percaya dengan pengamatan kamu terus mereka kekeh bilang jarak pandang saat itu adalah 5 km, kamu mau nggak? Kalau misal kamu nggak mau, terus mereka nyuruh kamu naik ke ke kantor mereka (tower) dan melakukan pengamatan disana dengan dalih kamu bakal mengamini prediksi mereka. Kamu mau nggak?Fun yeah! Aku gelagapan jawabnya.
Di satu sisi aku juga sadar posisiku dimana aku masih anak bawang yang fakir pengalaman. Di sisi lain, jika aku setuju, itu sama artinya dengan aku meragukan diriku sendiri yang sudah dilatih oleh seniorku plus instansi yang membesarkanku. Parahnya, jika sampai aku mau, kemudian naudzubillah ada kasus kecelakaan pesawat, aku pasti kena getahnya. Bukan melulu tentang uang denda yang memusingkan, tapi nyawa yang, mungkin, tidak sengaja kami “hilangkan”, nggak mungkin bisa kami kembalikan.
NYAWA manusia yang ada di dalam pesawat. Bagaimana aku dapat mempertanggungjawabkannya? Atau bahkan bagaimana jika aku adalah salah satu dari korbannya? Bagaimana jika itu kamu? Relakah?
Itu adalah secuil cerita yang mampu mengetuk kembali dinding idealisku. Sekali lagi, menjadi pribadi yang punya pendirian ternyata luar biasa penting. Sejauh ini, aku merasa bisa melakukannya saat bergaul dengan sebayaku, tetapi menerapkannya saat berada di tengah-tengah orang yang lebih dewasa ternyata tidaklah semudah itu. Idealismeku seakan terbungkam. Aku hanya diam. Menuruti mereka meskipun salah. Awalnya aku merasa tak biasa namun lama kelamaan jadi biasa saja. Dan itu semua terjadi begitu saja, tanpa berpikir lagi bagaimana benarnya. Mungkin beginilah juga salah satu alur yang menyebabkan korupsi bertumbuh subur di negeri ini.
Merasa salah -> terpaksa -> memaklumi -> biasa saja. Sedih.
Meskipun itu belum pernah terjadi padaku tetapi aku benar-benar merasa seperti ditampar. Dulu aku yang paling anti kasus contek menyontek dan geram melihatnya mengakar di berbagai lini pendidikan, kini seakan hanya bisa diam, terbungkam. Aku malu-malu sendiri. Malu dengan diriku yang kini mulai krisis jati diri. Aku begitu kesusahan membedakan saat dimana aku harus ngajeni (menghormati) beliau-beliau yang notabene lebih tua atau mempertahakan idealismeku. Terlebih mengingat aku adalah anak bawang yang sungkan-an (nggak enakan, nggak tega-an) banget, utamanya dengan orang yang lebih tua dariku.
Jika prinsip Song Joong Ki dalam drama The Descendent Of The Sun selalu mengutamakan keselamatan orang tua, anak-anak, dan perempuan cantik. Maka aku dalam drama hidupku sendiri senantiasa berusaha menjaga ucapanku, perilaku, biar nggak nyakiti perasaan orang, terlebih orang tua, anak-anak, sama orang ganteng luar dalem. Nah loh. Hahaha.
Aku tahu memasuki dunia itu bakal membuatku, anak ingusan gini, celingukan dan kesusahan saat bekerja di kantor. Apalagi, seperti yang kita tahu, kebanyakan orang tua itu wataknya keras, nggak mau disalahin, nggak mau dibantah. Siapa kamu siapa aku. Baru sebentar sudah belagu. Begitu bawaan pride-nya. Iya, repot pake banget. Serba salah. Mungkin Allah ingin aku belajar tentang ini. Iya, belajar lagi, lagi belajar.
Aku sadar, menjaga perasaan seseorang tidak selamanya diartikan dengan menuruti segala apa yang dikatakannya. Tetapi juga membenarkan saat mereka salah, asal benarnya kita juga beralasan bukan hanya karena “merasa” benar saja. Melawan saat mereka kelewatan. Jelas, bukan dengan adu mulut apalagi fisik. Bukan aku banget, karena kalau aku gitu, adanya aku yang bakalan nangis, for sure. Serasa marahin bapak atau kakak aku sendiri. Aku pasti kalah, aku nggak bisa. But how? Pertama mungkin aku bakal menolak secara halus, jika gagal, aku bakal melakukan penolakan diam-diam. Di-iya-in aja tapi nggak dilakukan atau didiemin aja tapi dilakukan. Dimarahin? Didendamin? Kayaknya itu sudah pasti.
Sedikit-sedikit aku juga mau mencoba mengubah hobiku yang seringkali bermain aman dan mulai melirik dunia yang lebih menantang. Jelas bukan untuk menyari musuh bebuyutan tapi agar aku tidak direndahkan dan yang penting terselamatkan dari bayang-bayang kesalahan. Lebih penting lagi untuk tetap bersikap profesional dengan tidak membawa urusan dalam kantor ke luar. Tetap bersikap baik setelah itu, menegur lebih dahulu, meminta maaf lebih dahulu meskipun kita tidak salah, serta hal-hal galib lainnya yang wajib dilakukan oleh anak bawang. Ya, tapi itu masih teori.
 Bisakah aku melakukannya?

PS: Penentuan jarak pandang merupakan salah satu hal yang sangat krusial dalam dunia penerbangan, utamanya untuk keperluan take-off dan landing. Sehingga kesalahan dalam penentuannya dalam berakibat fatal.


0 komentar:

Posting Komentar