Belajar itu tidak mengenal kata
kapan. Kapan mulai, kapan berlangsung, kapan berhenti, dimana, dengan siapa,
entahlah. Tuhan seakan tak putus mengirimkan berbagai kode, beragam perantara
agar kita dapat belajar. Contohnya saja, saat kamu diuji dengan kebahagiaan semisal
baru saja jadian, sebaiknya kamu jangan terlalu senang dulu. Ketahuilah jika
itu adalah juga bahan pembelajaran, agar kamu dapat belajar menerima kurangnya,
hobinya, dirinya seutuhnya. Pun saat kamu sedang putus cinta, secara tidak
langsung, Tuhan mengirim pesan agar kamu juga belajar, belajar ikhlas,
menerima, dan meniti langkah untuk bangkit kembali. Aku berharap kamu dapat
membaca pesanNya.
Maaf, tapi Nona bukan sedang
membicarakan soal asmara hihi. *gagal fokus* *timpuk sendal*
Kali ini
Nona lebih menekankan betapa pentingnya seseorang punya pendirian, karakter yang kuat, terlebih saat terjun di dunia kerja.
Belajar menjadi orang yang punya pendirian, itu yang Nona maksudkan. Well, sebelumnya Nona bakal sedikit
bercerita. Ada seorang bapak yang mengatakan, “Atasan-atasan itu lebih seneng
merekrut anak muda sebagai bawahannya. Ya kayak kamu, Nis. Kalau disuruh
kan nggak mungkin nggak nurut. Pasti nggak enakan, kan? Jadi ya pasti nurut aja gitu. Apalagi statusnya
masih bawahan pimpinan, masih baru. Kalau mereka korupsi, secara nggak
langsung kamu bakal membantu memudahkan aksi mereka, jadi ikut korupsi meski sebenernya kamu nggak mau.”
JLEEB!Merasa nggak punya harga diri.
Seseorang yang lain pernah bertanya
pada Nona, “Jika suatu saat kamu menentukan jarak pandang adalah sebesar 4 km,
kemudian orang tower (sebutan untuk
pekerja di Air Traffic Control)
“nawar” biar jarak pandang dilebihkan, dibuat 5 km misalnya. Atau mereka tidak
percaya dengan pengamatan kamu terus mereka kekeh
bilang jarak pandang saat itu adalah 5 km, kamu mau nggak? Kalau misal kamu nggak
mau, terus mereka nyuruh kamu naik ke ke kantor mereka (tower) dan melakukan pengamatan disana dengan
dalih kamu bakal mengamini prediksi mereka. Kamu mau nggak?” Fun yeah! Aku gelagapan jawabnya.
Di satu sisi aku juga sadar posisiku dimana aku masih anak
bawang yang fakir pengalaman. Di sisi lain, jika aku setuju, itu sama artinya
dengan aku meragukan diriku sendiri yang sudah dilatih oleh seniorku plus instansi yang membesarkanku. Parahnya,
jika sampai aku mau, kemudian naudzubillah ada kasus kecelakaan pesawat, aku pasti kena
getahnya. Bukan melulu tentang uang denda yang memusingkan, tapi nyawa yang,
mungkin, tidak sengaja kami “hilangkan”, nggak
mungkin bisa kami kembalikan.
NYAWA manusia yang ada di
dalam pesawat. Bagaimana aku dapat mempertanggungjawabkannya? Atau bahkan bagaimana
jika aku adalah salah satu dari korbannya? Bagaimana jika itu kamu? Relakah?
Itu adalah secuil cerita yang mampu mengetuk kembali dinding
idealisku. Sekali lagi, menjadi pribadi yang punya pendirian ternyata luar
biasa penting. Sejauh ini, aku merasa bisa melakukannya saat bergaul dengan
sebayaku, tetapi menerapkannya saat berada di tengah-tengah orang yang
lebih dewasa ternyata tidaklah semudah itu. Idealismeku seakan terbungkam. Aku
hanya diam. Menuruti mereka meskipun salah. Awalnya aku
merasa tak biasa namun lama kelamaan jadi biasa saja. Dan itu semua terjadi
begitu saja, tanpa berpikir lagi bagaimana benarnya. Mungkin beginilah juga
salah satu alur yang menyebabkan korupsi bertumbuh subur di negeri ini.
Merasa salah -> terpaksa -> memaklumi -> biasa saja. Sedih.
Meskipun itu belum pernah terjadi padaku tetapi aku
benar-benar merasa seperti ditampar. Dulu aku yang paling anti kasus contek
menyontek dan geram melihatnya mengakar di berbagai lini pendidikan, kini seakan hanya bisa diam, terbungkam.
Aku malu-malu sendiri. Malu dengan diriku yang kini mulai krisis jati diri. Aku begitu
kesusahan membedakan saat dimana aku harus ngajeni
(menghormati) beliau-beliau yang notabene lebih tua atau mempertahakan
idealismeku. Terlebih mengingat aku adalah anak bawang yang sungkan-an (nggak enakan, nggak tega-an) banget,
utamanya dengan orang yang lebih tua dariku.
Jika prinsip Song Joong Ki dalam drama The Descendent Of The
Sun selalu mengutamakan keselamatan orang tua, anak-anak, dan perempuan cantik.
Maka aku dalam drama hidupku sendiri senantiasa berusaha menjaga ucapanku,
perilaku, biar nggak nyakiti perasaan
orang, terlebih orang tua, anak-anak, sama orang ganteng luar dalem. Nah
loh. Hahaha.
Aku tahu memasuki dunia itu bakal membuatku, anak
ingusan gini, celingukan dan kesusahan
saat bekerja di kantor. Apalagi, seperti yang kita tahu, kebanyakan orang tua
itu wataknya keras, nggak mau
disalahin, nggak mau dibantah. Siapa kamu
siapa aku. Baru sebentar sudah belagu. Begitu
bawaan pride-nya. Iya, repot pake
banget. Serba salah. Mungkin Allah ingin aku belajar tentang ini. Iya, belajar
lagi, lagi belajar.
Aku sadar, menjaga perasaan seseorang tidak selamanya diartikan
dengan menuruti segala apa yang dikatakannya. Tetapi juga membenarkan saat mereka salah, asal benarnya kita juga beralasan bukan hanya karena
“merasa” benar saja. Melawan saat mereka kelewatan. Jelas, bukan dengan adu mulut
apalagi fisik. Bukan aku banget, karena kalau aku gitu, adanya aku
yang bakalan nangis, for sure. Serasa marahin bapak atau kakak aku sendiri. Aku pasti kalah, aku nggak bisa. But how? Pertama mungkin aku bakal menolak
secara halus, jika gagal, aku bakal melakukan penolakan diam-diam. Di-iya-in
aja tapi nggak dilakukan atau didiemin
aja tapi dilakukan. Dimarahin? Didendamin? Kayaknya itu sudah pasti.
Sedikit-sedikit aku juga mau mencoba mengubah hobiku yang
seringkali bermain aman dan mulai melirik dunia yang lebih menantang. Jelas bukan untuk
menyari musuh bebuyutan tapi agar aku tidak direndahkan dan yang penting
terselamatkan dari bayang-bayang kesalahan. Lebih penting lagi untuk tetap
bersikap profesional dengan tidak membawa urusan dalam kantor ke luar. Tetap
bersikap baik setelah itu, menegur lebih dahulu, meminta maaf lebih dahulu
meskipun kita tidak salah, serta hal-hal galib lainnya yang wajib dilakukan oleh anak bawang. Ya, tapi itu masih teori.
PS: Penentuan jarak pandang merupakan salah satu hal yang sangat krusial dalam dunia penerbangan, utamanya untuk keperluan take-off dan landing. Sehingga kesalahan dalam penentuannya dalam berakibat fatal.
Bisakah aku melakukannya?
PS: Penentuan jarak pandang merupakan salah satu hal yang sangat krusial dalam dunia penerbangan, utamanya untuk keperluan take-off dan landing. Sehingga kesalahan dalam penentuannya dalam berakibat fatal.
0 komentar:
Posting Komentar