IndonesianReview
- Sebagai Presiden WMO Regional Asia dan Pasifik Barat Daya, ada
22 negara, termasuk Amerika dan Australia, berada di bawah
pimpinan BMKG. Sayangnya, posisi sentral itu belum mampu menjadi daya tawar geoekonomi Indonesia. Inilah sentimen perdagangan antar kawasan,
berselimut dalam isu iklim dan lingkungan global.
Permintaan Presiden Joko Widodo agar Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) meningkatkan informasi cuaca
menyikapi kejadiaan naas Air Asia QZ8501, semestinya didorong lebih dari itu.
Sebab, bukan saja karena posisi BMKG dalam satu dekade lebih belakangan ini
memiliki peran penting di kancah dunia. Tapi juga ketidakmampuan Indonesia
mengadvokasikan isu meteorologi, klimatologi dan hidrologi tersebut hingga
membentuk isu lingkungan dalam balutan sentiman perdagangan global. Dua periode
berturut-turut BMKG Indonesia memang terpilih sebagai Presiden World
Meteorogical Organization (WMO) Regional Association V, meliputi wilayah Asia
dan Pasifik Daya. Yaitu periode 2010-2014 dan 2014-2018. Ini jadi sejarah baru
di lingkungan WMO yang bermarkas di Jenewa itu. Belum pernah ada negara memecah
rekor memimpin regionalnya dua periode berturut-turut. Tentu ini merupakan
pengakuan sekaligus kepercayaan internasional terhadap Indonesia.
Secara geopolitik, pengakuan itu juga sebetulnya buah
dari kiprah aktif Indonesia dalam kerjasama internasional dalam Executive
Council (EC) WMO selama ini. Di antara 190 negara anggota WMO, Indonesia selalu
konsisten menyikapi isu perubahan iklim global. Konsistensi itu dibuktikan
dengan terpilihnya Indonesia sebagai anggota High Level Task Force of Global
Framework for Climate Services (HLTF-GFCS) atau anggota elit pelayanan iklim
global. Ini juga dua periode berturut-turut: 2010-2015. Meski pun
konsistensinya masih nampak terfokus pada isu iklim dan lingkungan global
semata. Seolah-olah menafikan sarat dengan isu perdagangannya.
Kalau ditelusur lagi, pengakuan geopolitik itu
sesungguhnya bertolak dari kontur geografi dan geoekologi Indonesia
sebagai comparative advantage yang unik di dunia. Interaksi
air laut Indonesia yang menjadi titik temu perlintasan Samudera Pasifik dan
Hindia pantas disebut Aquarium Laut Dunia. Proporsi air laut Indonesia mirip
dengan proporsi dunia; sama-sama terdiri dari 70 persen lautan. Itulah kenapa
benua maritim Indonesia memberikan pengaruh besar terhadap iklim global. Guru
Besar Meteorologi Fisik ITB, Bayong Tjasyono, menguatkan, bahwa karakteristik
iklim Indonesia dan kompleksitas atmosfernya punya keunikan tersendiri. Faktor
geografi, topografi dan orografi, struktur kepulauan, orientasi pulau, dan
faktor lingkungan di sekitar Indonesia yang membentuk sistem peredaran udara,
saling berinteraksi. Hingga sistem cuaca Indonesia lengkap dengan berbagai
skala. Mulai dari skala terbesar sampai skala terkecil. Wajar bila Kepala BMKG,
Andi Eka Sakya, sangat percaya diri mengatakan bahwa Indonesia adalah pusat
semua kejadian yang terjadi di dunia.
Belum lagi faktor sinar matahari yang terus-menerus
menyinari. Jadi, bagaimanapun ekstrimnya skala cuaca yang ada, Indonesia tetap
memiliki siklus penyeimbang yang dikenal dengan iklim tropis itu. Maka
wajar pula Indonesia dijuluki sebagai “Malaikat Cuaca Dunia”. Sebagai
“malaikat” cuaca (geoekologis) sekaligus Presiden WMO Asia dan Pasifik Daya
(politis), ada 22 negara yang dipimpin BMKG. Yaitu: Australia, Brunei
Darussalam, Kepulauan Cook, Fiji, French Polynesia, Kiribati, Malaysia,
Micronesia, Kaledonia Baru, Selandia Baru, Niue, Papua New Guinea, Filipina,
Samoa, Singapura, Kepulauan Solomon, Timor-Leste, Tonga, Inggris, Amerika
Serikat, dan Vanuatu.
Dengan posisi sepenting itu, kedudukan BMKG punya daya
tawar kuat sebetulnya. Tidak hanya sekedar pengatur lalu-lintas meteorologi,
klimatologi dan hidrologi di kancah global. Tapi juga dalam rangka pemanfaatan
ekonomi lingkungan seluas-luasnya. Tapi mari kita tutup semua kebanggaan itu,
walau tidak dikubur dalam-dalam. Karena betapa jengkelnya kita atas loyonya
pejabat republik ini dalam memanfaatkan posisi strategis geopolitik dan
geoekologis itu.
Dalam merebut celah dan nilai ekonomi berbasis
lingkungan ini diplomasi kita berjalan sendiri-sendiri. Juga setengah hati.
Baik sebagai Presiden WMO Asia dan Pasifik Daya; pimpinan ASEAN; anggota elit
iklim global, anggota WTO, G-20, dan sebagainya. Antar pejabat dan tokoh kita
belum sevisi dalam menegakan kemandirian ekonomi nasional melalui isu tersebut.
Perdagangan dalam Selimut Iklim
Global dan Lingkungan
Contoh paling krusial nampak pada ketidakberdayaan
Indonesia dalam menagih dana kompensasi Forest Carbon Partnership Facility
(FCPF). Ingat: dana ini bukanlah pinjaman. Karena sebagai insentif Indonesia
sebagai negara berkembang yang terbukti berhasil mengurangi emisi karbon.
Insentif ini diatur dalam konvensi United Nation Framework Convention on
Climate Change (UNFCCC) melalui mekanisme Reducing Emissions from Deforestation
and Degradation (REDD) & REDD+. Berbagai hambatan dalam penagihannya juga
tak tertuntaskan; dipicu dengan tumpulnya data-data yang kita punya. Klaim
sebagai negara paru-paru dunia, tidak berarti apa-apa. Memang ironis, ini juga
karena Indonesia selalu dihajar dengan isu yang membalikan fakta keberhasilan
mengurangi emisi itu sendiri. Yaitu tuduhan sebagai salah satu negara
penyumbang karbon dioksida terbesar di dunia sebagai biang pemanasan global
itu.
Kurang ajarnya, World Resources Institute (WRI)
berpusat di Washington, tiap tahun kerap memprovokasi isu ini. Tahun 2011
contohnya. Lembaga dunia bidang lingkungan berbasis ekonomi sosial itu merilis
Indonesia masuk dalam jajaran 10 besar negara-negara penyumbang pemanasan
global terbesar dalam 160 tahun terakhir atau setelah revolusi industri 1850,
dengan angka bombastis: 2.053 miliar ton karbon dioksida. Terakhir, pada 2014,
Indonesia naik ke peringat enam besar.
Ini sebuah tuduhan yang sangat serius sekaligus
menggelikan. Karena lebih bermotif persaingan bisnis. Inilah isu perdagangan
yang menunggang dalam isu lingkungan dan iklim global. Sadar atau tidak,
Amerika dengan Singapura sebagai kongsi utamanya, sedang menjalankan opini
dunia yang jahat. Bahwa penyumbang pemanasan global satu dekade belakangan
telah bergeser bukan lagi dunia Barat, melainkan di Asia. Karena lebih
merupakan ancaman Barat dalam catur perdagangan global.
Indonesia dalam posisi daya tawar yang lemah. Negara
Asia lain yang ikut tertuduh seakan tak berpengaruh. Perdagangan China masih
sangat perkasa walau tak segagah Amerika. Sekalipun keduanya sama-sama dituduh
sebagai negeri penyumbang karbon dioksida terbesar di dunia. Cina menyumbang
10.26 miliar ton; penyumbang paling besar di dunia. India (2.358 miliar ton)
dan Jepang (1.17 miliar ton). Jepang malah mulus dari cap produk yang tidak
ramah lingkungan itu. Cina yang kena cap, tentu saja terbalaskan dengan produk
industri lain. Isu negara penyumbang emisi gas rumah kaca itu sejak awal memang
sengaja dihembuskan AS untuk merontokan industri kelapa sawit negeri kita yang
kini menjadi “Saudi-nya” CPO di dunia. Seperti kaset, inilah kisah lama yang
diputar berulang-ulang.
Sejak era 1980-an saja di masa awal sawit mulai
menghijau di bumi pertiwi, tuduhan American Soybean Association sudah
macam-macam bentuknya. Mulai dari minyak kelapa sawit berkolesterol tinggi yang
menyebabkan penyakit jantung. Sampai tuduhan bahwa sawit adalah mesin
penghancur ekologis air dan tanah. Yang lebih parah: sawit Indonesia dituduh
sebagai penyebab deforestasi yang menghasilkan gas rumah kaca; biangnya
pemanasan global. Apa yang menjadi kegagalan industri sawit Indonesia dan turunannya
hari ini tak lepas dari kesuksesan kampanye AS itu. Uni Eropa sejak 2013
memberlakukan anti dumping duties untuk biodiesel Indonesia dan Argentina
selama lima tahun. Kebijakan diskriminatif itu melorotkan ekspor CPO kita dalam
dua tahun terakhir.
Aturan main timpang itu sejalan dengan penolakan WTO
terhadap usulan Indonesia memasukan CPO dalam daftar produk ramah lingkungan.
Sudah dua kali ditolak. Terakhir, kita rontok di kandang sendiri. Yaitu di
Surabaya, April 2013, dalam forum APEC. Dalam kesempatan itu, produk karet yang
Indonesia usulkan sebagai antisipasi bila CPO kembali ditolak, juga bernasib
sama.
Sekarang ini anggota APEC sedang tancap gas
berlomba-lomba memasukkan produknya ke dalam daftar Environmental Goods (EGs)
pada 2015. Semua tahu: di balik aturan main produk ramah lingkungan itu
adalah keistimewaan sebuah negara untuk mendapatkan penurunan tarif bea antara
0-5 persen. Dan Indonesia terancam tidak memiliki produk satupun untuk
mendapatkan penurunan tarif itu. China masih mendingan. Karena produk bambunya
lolos dalam daftar tersebut.
Yang bikin jengkel, dalam pertemuan APEC di Rusia,
September 2012, kurang lebih 50-an produk milik negara-negara maju yang lolos
masuk dalam daftar produk ramah lingkungan itu. Tau apa produknya? Justeru
sebagian besarnya adalah produk manufaktur dan mekanik, yang tentu saja unsur
komoditas agro-nya tidak dominan. Seperti milik Amerika, Jepang, Australia dan
Kanada.
Mereka memang merajai arena perundingan terhadap
negara berkembang. Kita terkencing-kencing dibuatnya. Padahal, keempat negara
tersebut juga sama-sama di-black list oleh World Resources
Institute (WRI) yang berpusat di Washington itu sebagai Top Ten Country penyumbang
pemanasan global terbesar di dunia. Kalau ditotal, mereka menyumbang lebih dari
8 miliar ton di dunia.
Akibat Tunduk dengan Rezim Global
Indonesia nampak cukup jadi anak manis yang diberi
“permen” dalam dalam isu lingkungan dan iklim global yang bertalian erat dengan
isu perdagangan tersebut. Dengan berbagai Konvensi bahwa informasi iklim adalah
untuk kemanusiaan global yang menembus batas etnik, teritori dan kepentingan
negara, Indonesia dengan posturnya malaikat cuaca dunia didikte mengikuti
kehendak negara maju itu.
Data cuaca BMKG misalnya, itu menggunakan satelit NOAA
milik AS. Dengan dalih sudah jadi aturan internasional yang terdaftar dalam
WMO. Belakangan, September 2014, BMKG meluncurkan teknologi baru tampilan cuaca
berupa “With Globe” berlisensi Jepang. Kedengarannya bergengsi. Karena
pemasangan With Globe di BMKG adalah unit kedua di dunia setelah pemasangan
sebelumnya oleh Weather News Inc di kantor pusat WMO di Jenewa.
Atas nama kemanusiaan yang terikat dalam ketentuan
internasional WMO, Indonesia tunduk membagikan informasi cuacanya. Padahal kita
tidak pernah mendapatkan jaminan bahwa informasi yang dibagikan itu pula yang
menguatkan bisnis mereka menjajah Indonesia. Inilah akibat gaya diplomasi
santun dengan menganut prinsip “seribu kawan terlalu sedikit, satu musuh
terlalu banyak” itu. Padahal, hukum diplomasi paling tua pun masih menggunakan
prinsip membela kepentingan koloninya di atas kepentingan koloni lain.
Analoginya seperti harga minyak. Melonjaknya harga
minyak mentah dunia beberapa hari setelah Raja Arab Saudi Abdullah bin
Abdulaziz meninggal dunia, Jumat (23/1/2015)—menjadi 47.24 US$ per barrel di
pasar Asia—praktis juga berlaku untuk Indonesia. Mana ada diskon, walau kita
juga sedang ditimpa krisis minyak untuk beberapa tahun ke depan. Tak peduli
Indonesia juga didominasi oleh Sunni. Tak peduli pemerintah Indonesia ikut
berkabung dan takziyah langsung ke Kerajaan itu.
Wal-hasil: berbagai peran Indonesia, baik keanggotaan
elit maupun tampil memimpin berbagai organisasi serta forum dunia, tak lebih
dari sekedar nama. Berbagai keunggulan komparatif tata ruang Indonesia di
kancah dunia, mirip aquarium semata. Bila diibaratkan dengan malaikat,
pengakuan secara politis dan geografis-ekologis masyarakat dunia itu, posisi
Indonesia nyaris seperti malaikat yang tidak bisa mencabut nyawa. ***
Alfi Rahmadi - Analis
IndonesianReview.com
0 komentar:
Posting Komentar