Selasa, 14 April 2015

Ketika Indonesia Jadi Malaikat Dunia



IndonesianReview - Sebagai Presiden WMO Regional Asia dan Pasifik Barat Daya, ada 22 negara, termasuk Amerika dan Australia, berada di bawah pimpinan BMKG. Sayangnya, posisi sentral itu belum mampu menjadi daya tawar geoekonomi Indonesia. Inilah sentimen perdagangan antar kawasan, berselimut dalam isu iklim dan lingkungan global.

Permintaan Presiden Joko Widodo agar Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) meningkatkan informasi cuaca menyikapi kejadiaan naas Air Asia QZ8501, semestinya didorong lebih dari itu. Sebab, bukan saja karena posisi BMKG dalam satu dekade lebih belakangan ini memiliki peran penting di kancah dunia. Tapi juga ketidakmampuan Indonesia mengadvokasikan isu meteorologi, klimatologi dan hidrologi tersebut hingga membentuk isu lingkungan dalam balutan sentiman perdagangan global. Dua periode berturut-turut BMKG Indonesia memang terpilih sebagai Presiden World Meteorogical Organization (WMO) Regional Association V, meliputi wilayah Asia dan Pasifik Daya. Yaitu periode 2010-2014 dan 2014-2018. Ini jadi sejarah baru di lingkungan WMO yang bermarkas di Jenewa itu. Belum pernah ada negara memecah rekor memimpin regionalnya dua periode berturut-turut. Tentu ini merupakan pengakuan sekaligus kepercayaan internasional terhadap Indonesia.

Secara geopolitik, pengakuan itu juga sebetulnya buah dari kiprah aktif Indonesia dalam kerjasama internasional dalam Executive Council (EC) WMO selama ini. Di antara 190 negara anggota WMO, Indonesia selalu konsisten menyikapi isu perubahan iklim global. Konsistensi itu dibuktikan dengan terpilihnya Indonesia sebagai anggota High Level Task Force of Global Framework for Climate Services (HLTF-GFCS) atau anggota elit pelayanan iklim global. Ini juga dua periode berturut-turut: 2010-2015. Meski pun konsistensinya masih nampak terfokus pada isu iklim dan lingkungan global semata. Seolah-olah menafikan sarat dengan isu perdagangannya. 

Kalau ditelusur lagi, pengakuan geopolitik itu sesungguhnya bertolak dari kontur geografi dan geoekologi Indonesia sebagai comparative advantage yang unik di dunia. Interaksi air laut Indonesia yang menjadi titik temu perlintasan Samudera Pasifik dan Hindia pantas disebut Aquarium Laut Dunia. Proporsi air laut Indonesia mirip dengan proporsi dunia; sama-sama terdiri dari 70 persen lautan. Itulah kenapa benua maritim Indonesia memberikan pengaruh besar terhadap iklim global. Guru Besar Meteorologi Fisik ITB, Bayong Tjasyono, menguatkan, bahwa karakteristik iklim Indonesia dan kompleksitas atmosfernya punya keunikan tersendiri. Faktor geografi, topografi dan orografi, struktur kepulauan, orientasi pulau, dan faktor lingkungan di sekitar Indonesia yang membentuk sistem peredaran udara, saling berinteraksi. Hingga sistem cuaca Indonesia lengkap dengan berbagai skala. Mulai dari skala terbesar sampai skala terkecil. Wajar bila Kepala BMKG, Andi Eka Sakya, sangat percaya diri mengatakan bahwa Indonesia adalah pusat semua kejadian yang terjadi di dunia.

Belum lagi faktor sinar matahari yang terus-menerus menyinari. Jadi, bagaimanapun ekstrimnya skala cuaca yang ada, Indonesia tetap memiliki siklus penyeimbang yang dikenal dengan iklim tropis itu.  Maka wajar pula Indonesia dijuluki sebagai “Malaikat Cuaca Dunia”. Sebagai “malaikat” cuaca (geoekologis) sekaligus Presiden WMO Asia dan Pasifik Daya (politis), ada 22 negara yang dipimpin BMKG. Yaitu: Australia, Brunei Darussalam, Kepulauan Cook, Fiji, French Polynesia, Kiribati, Malaysia, Micronesia, Kaledonia Baru, Selandia Baru, Niue, Papua New Guinea, Filipina, Samoa, Singapura, Kepulauan Solomon, Timor-Leste, Tonga, Inggris, Amerika Serikat, dan Vanuatu.

Dengan posisi sepenting itu, kedudukan BMKG punya daya tawar kuat sebetulnya. Tidak hanya sekedar pengatur lalu-lintas meteorologi, klimatologi dan hidrologi di kancah global. Tapi juga dalam rangka pemanfaatan ekonomi lingkungan seluas-luasnya. Tapi mari kita tutup semua kebanggaan itu, walau tidak dikubur dalam-dalam. Karena betapa jengkelnya kita atas loyonya pejabat republik ini dalam memanfaatkan posisi strategis geopolitik dan geoekologis itu.

Dalam merebut celah dan nilai ekonomi berbasis lingkungan ini diplomasi kita berjalan sendiri-sendiri. Juga setengah hati. Baik sebagai Presiden WMO Asia dan Pasifik Daya; pimpinan ASEAN; anggota elit iklim global, anggota WTO, G-20, dan sebagainya. Antar pejabat dan tokoh kita belum sevisi dalam menegakan kemandirian ekonomi nasional melalui isu tersebut.

Perdagangan dalam Selimut Iklim Global dan Lingkungan
Contoh paling krusial nampak pada ketidakberdayaan Indonesia dalam menagih dana kompensasi Forest Carbon Partnership Facility (FCPF). Ingat: dana ini bukanlah pinjaman. Karena sebagai insentif Indonesia sebagai negara berkembang yang terbukti berhasil mengurangi emisi karbon. Insentif ini diatur dalam konvensi United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) melalui mekanisme Reducing Emissions from Deforestation and Degradation (REDD) & REDD+. Berbagai hambatan dalam penagihannya juga tak tertuntaskan; dipicu dengan tumpulnya data-data yang kita punya. Klaim sebagai negara paru-paru dunia, tidak berarti apa-apa. Memang ironis, ini juga karena Indonesia selalu dihajar dengan isu yang membalikan fakta keberhasilan mengurangi emisi itu sendiri. Yaitu tuduhan sebagai salah satu negara penyumbang karbon dioksida terbesar di dunia sebagai biang pemanasan global itu.

Kurang ajarnya, World Resources Institute (WRI) berpusat di Washington, tiap tahun kerap memprovokasi isu ini. Tahun 2011 contohnya. Lembaga dunia bidang lingkungan berbasis ekonomi sosial itu merilis Indonesia masuk dalam jajaran 10 besar negara-negara penyumbang pemanasan global terbesar dalam 160 tahun terakhir atau setelah revolusi industri 1850, dengan angka bombastis: 2.053 miliar ton karbon dioksida. Terakhir, pada 2014, Indonesia naik ke peringat enam besar.

Ini sebuah tuduhan yang sangat serius sekaligus menggelikan. Karena lebih bermotif persaingan bisnis. Inilah isu perdagangan yang menunggang dalam isu lingkungan dan iklim global. Sadar atau tidak, Amerika dengan Singapura sebagai kongsi utamanya, sedang menjalankan opini dunia yang jahat. Bahwa penyumbang pemanasan global satu dekade belakangan telah bergeser bukan lagi dunia Barat, melainkan di Asia. Karena lebih merupakan ancaman Barat dalam catur perdagangan global.

Indonesia dalam posisi daya tawar yang lemah. Negara Asia lain yang ikut tertuduh seakan tak berpengaruh. Perdagangan China masih sangat perkasa walau tak segagah Amerika. Sekalipun keduanya sama-sama dituduh sebagai negeri penyumbang karbon dioksida terbesar di dunia. Cina menyumbang 10.26 miliar ton; penyumbang paling besar di dunia. India (2.358 miliar ton) dan Jepang (1.17 miliar ton). Jepang malah mulus dari cap produk yang tidak ramah lingkungan itu. Cina yang kena cap, tentu saja terbalaskan dengan produk industri lain. Isu negara penyumbang emisi gas rumah kaca itu sejak awal memang sengaja dihembuskan AS untuk merontokan industri kelapa sawit negeri kita yang kini menjadi “Saudi-nya” CPO di dunia. Seperti kaset, inilah kisah lama yang diputar berulang-ulang.

Sejak era 1980-an saja di masa awal sawit mulai menghijau di bumi pertiwi, tuduhan American Soybean Association sudah macam-macam bentuknya. Mulai dari minyak kelapa sawit berkolesterol tinggi yang menyebabkan penyakit jantung. Sampai tuduhan bahwa sawit adalah mesin penghancur ekologis air dan tanah. Yang lebih parah: sawit Indonesia dituduh sebagai penyebab deforestasi yang menghasilkan gas rumah kaca; biangnya pemanasan global. Apa yang menjadi kegagalan industri sawit Indonesia dan turunannya hari ini tak lepas dari kesuksesan kampanye AS itu. Uni Eropa sejak 2013 memberlakukan anti dumping duties untuk biodiesel Indonesia dan Argentina selama lima tahun. Kebijakan diskriminatif itu melorotkan ekspor CPO kita dalam dua tahun terakhir.

Aturan main timpang itu sejalan dengan penolakan WTO terhadap usulan Indonesia memasukan CPO dalam daftar produk ramah lingkungan. Sudah dua kali ditolak. Terakhir, kita rontok di kandang sendiri. Yaitu di Surabaya, April 2013, dalam forum APEC. Dalam kesempatan itu, produk karet yang Indonesia usulkan sebagai antisipasi bila CPO kembali ditolak, juga bernasib sama.

Sekarang ini anggota APEC sedang tancap gas berlomba-lomba memasukkan produknya ke dalam daftar Environmental Goods (EGs) pada 2015. Semua tahu: di balik aturan main produk ramah lingkungan  itu adalah keistimewaan sebuah negara untuk mendapatkan penurunan tarif bea antara 0-5 persen. Dan Indonesia terancam tidak memiliki produk satupun untuk mendapatkan penurunan tarif itu. China masih mendingan. Karena produk bambunya lolos dalam daftar tersebut.

Yang bikin jengkel, dalam pertemuan APEC di Rusia, September 2012, kurang lebih 50-an produk milik negara-negara maju yang lolos masuk dalam daftar produk ramah lingkungan itu. Tau apa produknya? Justeru sebagian besarnya adalah produk manufaktur dan mekanik, yang tentu saja unsur komoditas agro-nya tidak dominan. Seperti milik Amerika, Jepang, Australia dan Kanada.

Mereka memang merajai arena perundingan terhadap negara berkembang. Kita terkencing-kencing dibuatnya. Padahal, keempat negara tersebut juga sama-sama di-black list oleh World Resources Institute (WRI) yang berpusat di Washington itu sebagai Top Ten Country penyumbang pemanasan global terbesar di dunia. Kalau ditotal, mereka menyumbang lebih dari 8 miliar ton di dunia.  

Akibat Tunduk dengan Rezim Global
Indonesia nampak cukup jadi anak manis yang diberi “permen” dalam dalam isu lingkungan dan iklim global yang bertalian erat dengan isu perdagangan tersebut. Dengan berbagai Konvensi bahwa informasi iklim adalah untuk kemanusiaan global yang menembus batas etnik, teritori dan kepentingan negara, Indonesia dengan posturnya malaikat cuaca dunia didikte mengikuti kehendak negara maju itu.

Data cuaca BMKG misalnya, itu menggunakan satelit NOAA milik AS. Dengan dalih sudah jadi aturan internasional yang terdaftar dalam WMO. Belakangan, September 2014, BMKG meluncurkan teknologi baru tampilan cuaca berupa “With Globe” berlisensi Jepang. Kedengarannya bergengsi. Karena pemasangan With Globe di BMKG adalah unit kedua di dunia setelah pemasangan sebelumnya oleh Weather News Inc di kantor pusat WMO di Jenewa.

Atas nama kemanusiaan yang terikat dalam ketentuan internasional WMO, Indonesia tunduk membagikan informasi cuacanya. Padahal kita tidak pernah mendapatkan jaminan bahwa informasi yang dibagikan itu pula yang menguatkan bisnis mereka menjajah Indonesia. Inilah akibat gaya diplomasi santun dengan menganut prinsip “seribu kawan terlalu sedikit, satu musuh terlalu banyak” itu. Padahal, hukum diplomasi paling tua pun masih menggunakan prinsip membela kepentingan koloninya di atas kepentingan koloni lain.

Analoginya seperti harga minyak. Melonjaknya harga minyak mentah dunia beberapa hari setelah Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdulaziz meninggal dunia, Jumat (23/1/2015)—menjadi 47.24 US$ per barrel di pasar Asia—praktis juga berlaku untuk Indonesia. Mana ada diskon, walau kita juga sedang ditimpa krisis minyak untuk beberapa tahun ke depan. Tak peduli Indonesia juga didominasi oleh Sunni. Tak peduli pemerintah Indonesia ikut berkabung dan takziyah langsung ke Kerajaan itu.  

Wal-hasil: berbagai peran Indonesia, baik keanggotaan elit maupun tampil memimpin berbagai organisasi serta forum dunia, tak lebih dari sekedar nama. Berbagai keunggulan komparatif tata ruang Indonesia di kancah dunia, mirip aquarium semata. Bila diibaratkan dengan malaikat, pengakuan secara politis dan geografis-ekologis masyarakat dunia itu, posisi Indonesia nyaris seperti malaikat yang tidak bisa mencabut nyawa.  ***

Alfi Rahmadi - Analis IndonesianReview.com

0 komentar:

Posting Komentar