Mojokerto, 22 Desember 2015
Teruntuk Ibuku tercinta,
Yuni Andriana
Assalamu’alaikum wr. Wb.
Ibu apa kabar? Aku harap Allah senantiasa melimpahkan rezeki
sehat, rasa syukur serta tak lupa bahagia. Aamiin. Alhamdulillah, aku disini
baik dan insya Allah betah hidup di perantauan, Bu. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya
tidak pernah ada hari dimana aku tidak memikirkanmu, Bu. Pun dalam penatnya
jadwal kuliah dan mengajar yang aku jalani di perantauan, tak pernah sedikitpun
membuatku lupa akan Ibu. Berkenaan dengan Hari Ibu yang diperingati hari ini,
perkenankan ananda, berusaha, sedikit membahasakan perasaanku.
Sudah lebih dari setahun ini aku menjadi anak kosan di sebuah
wilayah komplek BMKG. Dilabeli sebagai ‘anak kosan’ kerap kali memunculkan stereotip
jika makanan anak kosan itu ‘seadanya’. Mie adalah makanan pokok kami, katanya.
Namun itu tidak bagiku. Ibu dulu bilang, “Kesehatan itu investasi jangka
panjang, memang sih kamu tidak mungkin langsung mati kalau makan mie tiap hari,
tapi suatu saat nanti jika penyakit itu datang (karena kebanyakan makan mie)
kamu akan merasakan sakit yang membuatmu mati secara perlahan. Tapi ya terserah
sih, hidup adalah pilihan.” Asal Ibu tahu, nasihat Ibu itu jleb banget rasanya dan selalu
terngiang-ngiang di pikiranku. Ngefek banget.
Aku juga sangat berterimakasih sama Ibu karena sudah
mengajarkanku pentingnya kejujuran. Aku
inget dulu waktu aku SD, aku pernah dipanggil guru karena kasus contekan. Terus
Ibu bilang, “Ya sudah nggak papa,
percuma kamu nangis. Lain kali nggak usah
kerja sama lagi. Nggak barokah, Nak
nilai gitu. Buat apa kamu terus-terusan ranking 1 tapi caranya gitu? Ibu lo nggak minta itu, Nak, nggak bangga sama sekali. Ibu lebih
menghargai nilai yang ‘jujur’.” Sekali lagi, jleb banget rasanya. Selama ini aku berjuang buat Ibu bangga bukan
kecewa seperti ini. Jadi waktu Ibu bilang gitu, jujur aku kecewa banget mungkin
juga marah dengan diriku sendiri.
Sejak saat itu, aku alhamdulillah belum pernah, dan semoga nggak pernah, nyontek lagi, Bu. Itu
adalah kali pertamaku dan semoga juga terakhirku. Raut kekecewaan Ibu saat itu
selalu membekas di ingatanku. Sehingga tiap kali aku melihat orang mencontek, entah
mengapa aku selalu menyunggingkan senyum kecil, mungkin karena inget gimana aku
dulu, nggak lagi deh. Namun sayangnya, kini pelajaran mengenai kejujuran semakin
langka, Bu. Kujumpai banyak orang yang sikut sana-sini demi mencapai tujuannya.
Jangankan kejujuran, dosa pun diterabas. Ya Allah, kuatkan aku.
Poin terakhir adalah mengenai wanita harus berpenghasilan. Aku inget betul, dulu, aku pernah
berpikiran untuk menjadi Ibu ruma tangga, mutlak hanya mengurusi rumah, suami, dan
anak. Namun kemudian Ibu lah yang membuka mataku dan memberitahuku jika selama
ini wanita lebih sering jadi korban. Ibu banyak menolong melahirkan gadis
dibawah umur, yang kebanyakan tanpa ‘didampingi’ suaminya alias ditinggal begitu
saja. Terus ibu bilang, “Apa bukan orang tuanya lagi yang ngurusi? Kasihan,
Nak, kasihan.” Belum lagi mengenai kasus poligami yang sedang tren dibahas
belakangan ini. “Lantas jika misalnya dia tidak punya penghasilan, mau hidup
bagaimana?”, tanya Ibu. Nyesss
rasanya. Maka sejak saat itu pula aku putuskan aku akan bekerja tapi tetep
punya waktu buat di rumah.
Jika ada predikat guru terbaik, maka aku akan mempersembahkannya
pada Ibu, guru terbaikku sepanjang masa. Terimakasih untuk semua pelajaran
kehidupannya. Jika bukan karena didikan Ibu, mungkin aku tidak bisa melakukan
pencapaian sejauh ini. Pun jika bukan karena Ibu yang bekerja seorang diri, aku
tidak mungkin bisa hidup senyaman ini, makan seenak ini, dan hidup sekuat ini. Ungkapan
kata terimakasih rasanya tak mampu menggambarkan betapa bersyukurnya,
berterimakasihnya, aku pada Allah karena telah mengirim Ibu sebagai ibuku. Tak
lupa aku berdoa, semoga ibu-ibu lain di luar sana juga merupakan ibu yang
paling hebat bagi anak-anaknya. Aamiin.
Selamat Hari
Ibu! { }
Anakmu
tersayang,
Anistia Malinda Hidayat
0 komentar:
Posting Komentar