Senin, 21 Desember 2015

Surat Untuk Ibu



Mojokerto, 22 Desember 2015

Teruntuk Ibuku tercinta,
Yuni Andriana

Assalamu’alaikum wr. Wb.
Ibu apa kabar? Aku harap Allah senantiasa melimpahkan rezeki sehat, rasa syukur serta tak lupa bahagia. Aamiin. Alhamdulillah, aku disini baik dan insya Allah betah hidup di perantauan, Bu. Kalau dipikir-pikir, sebenarnya tidak pernah ada hari dimana aku tidak memikirkanmu, Bu. Pun dalam penatnya jadwal kuliah dan mengajar yang aku jalani di perantauan, tak pernah sedikitpun membuatku lupa akan Ibu. Berkenaan dengan Hari Ibu yang diperingati hari ini, perkenankan ananda, berusaha, sedikit membahasakan perasaanku.
Sudah lebih dari setahun ini aku menjadi anak kosan di sebuah wilayah komplek BMKG. Dilabeli sebagai ‘anak kosan’ kerap kali memunculkan stereotip jika makanan anak kosan itu ‘seadanya’. Mie adalah makanan pokok kami, katanya. Namun itu tidak bagiku. Ibu dulu bilang, “Kesehatan itu investasi jangka panjang, memang sih kamu tidak mungkin langsung mati kalau makan mie tiap hari, tapi suatu saat nanti jika penyakit itu datang (karena kebanyakan makan mie) kamu akan merasakan sakit yang membuatmu mati secara perlahan. Tapi ya terserah sih, hidup adalah pilihan.” Asal Ibu tahu, nasihat Ibu itu jleb banget rasanya dan selalu terngiang-ngiang di pikiranku. Ngefek banget.
Aku juga sangat berterimakasih sama Ibu karena sudah mengajarkanku pentingnya kejujuran. Aku inget dulu waktu aku SD, aku pernah dipanggil guru karena kasus contekan. Terus Ibu bilang, “Ya sudah nggak papa, percuma kamu nangis. Lain kali nggak usah kerja sama lagi. Nggak barokah, Nak nilai gitu. Buat apa kamu terus-terusan ranking 1 tapi caranya gitu? Ibu lo nggak minta itu, Nak, nggak bangga sama sekali. Ibu lebih menghargai nilai yang ‘jujur’.” Sekali lagi, jleb banget rasanya. Selama ini aku berjuang buat Ibu bangga bukan kecewa seperti ini. Jadi waktu Ibu bilang gitu, jujur aku kecewa banget mungkin juga marah dengan diriku sendiri.
Sejak saat itu, aku alhamdulillah belum pernah, dan semoga nggak pernah, nyontek lagi, Bu. Itu adalah kali pertamaku dan semoga juga terakhirku. Raut kekecewaan Ibu saat itu selalu membekas di ingatanku. Sehingga tiap kali aku melihat orang mencontek, entah mengapa aku selalu menyunggingkan senyum kecil, mungkin karena inget gimana aku dulu, nggak lagi deh. Namun sayangnya, kini pelajaran mengenai kejujuran semakin langka, Bu. Kujumpai banyak orang yang sikut sana-sini demi mencapai tujuannya. Jangankan kejujuran, dosa pun diterabas. Ya Allah, kuatkan aku.
Poin terakhir adalah mengenai wanita harus berpenghasilan. Aku inget betul, dulu, aku pernah berpikiran untuk menjadi Ibu ruma tangga, mutlak hanya mengurusi rumah, suami, dan anak. Namun kemudian Ibu lah yang membuka mataku dan memberitahuku jika selama ini wanita lebih sering jadi korban. Ibu banyak menolong melahirkan gadis dibawah umur, yang kebanyakan tanpa ‘didampingi’ suaminya alias ditinggal begitu saja. Terus ibu bilang, “Apa bukan orang tuanya lagi yang ngurusi? Kasihan, Nak, kasihan.” Belum lagi mengenai kasus poligami yang sedang tren dibahas belakangan ini. “Lantas jika misalnya dia tidak punya penghasilan, mau hidup bagaimana?”, tanya Ibu. Nyesss rasanya. Maka sejak saat itu pula aku putuskan aku akan bekerja tapi tetep punya waktu buat di rumah.
Jika ada predikat guru terbaik, maka aku akan mempersembahkannya pada Ibu, guru terbaikku sepanjang masa. Terimakasih untuk semua pelajaran kehidupannya. Jika bukan karena didikan Ibu, mungkin aku tidak bisa melakukan pencapaian sejauh ini. Pun jika bukan karena Ibu yang bekerja seorang diri, aku tidak mungkin bisa hidup senyaman ini, makan seenak ini, dan hidup sekuat ini. Ungkapan kata terimakasih rasanya tak mampu menggambarkan betapa bersyukurnya, berterimakasihnya, aku pada Allah karena telah mengirim Ibu sebagai ibuku. Tak lupa aku berdoa, semoga ibu-ibu lain di luar sana juga merupakan ibu yang paling hebat bagi anak-anaknya. Aamiin.

Selamat Hari Ibu! { }


Anakmu tersayang,

Anistia Malinda Hidayat


0 komentar:

Posting Komentar