Hi! Jadi kemarin banget
nih (5 Mei 2018) gw ngikutin salah satu ajang perlombaan esai dalam acara Forum
Kerjasama Rohani Islam Perguruan Tinggi Kedinasan (FOKRI PTK). Sebenernya gw
nggak expect apa-apa, mengingat gw sedikit “nekat” bahas topik yang cukup
punya stigma negatif di tengah masyarakat. Iya tentang islam yang moderat.
Tentang sesuatu yang so far, gw merasa paling prefer with. Tetapi ternyata,
Allah baiknya baik bangeeeet, esai gw masih dikasih kesempatan buat menang. Dan
gw sedikit janji, setelah selesai acara lomba selesai, mau menang atau kagak, gw pengen share
tulisan gw biar lebih banyak orang yang bisa baca. Harapan gw sih simple, setelah lo baca ini lo bisa jadi orang yang terbuka dan paham kalau kebenaran itu tidak selamanya tunggal jadi
jangan kebanyakan ribut melulu. Jangan mengurangi jumlah saudara seiman kita
dengan membudayakan praktik takfir di kehidupan sehari-hari. Itu inti dari esai gw. Happy
reading, fellas! 😊
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Shahifatul Madinah yang kemudian dikenal sebagai
Piagam Madinah merupakan tonggak terwujudnya konsep masyarakat madani, konsep
yang diakui dunia sebagai model peradaban masyarakat paling maju di zamannya.
Tokoh besar yang memaklumatkan dokumen politik tersebut tidak lain dan tidak
bukan adalah Rasulullah SAW. Tentu bukan perkara mudah untuk membangun
masyarakat ideal di tengah masyarakat heterogen, namun berkat adanya perjanjian
politik yang tertuang dalam piagam Madinah, masyarakat diberikan kebebasan menyatakan
pendapat dan, yang paling penting, kebebasan beribadah sesuai dengan
keyakinannya. Kepiawaian Nabi Muhammad selaku pemimpin tercermin melalui
kerukunan dan keharmonisan hidup masyarakat Madinah, bukan hanya antar sesama
kaum muslim namun juga orang-orang Yahudi dan sebagian kecil suku Arab yang
saat itu masih menyembah berhala. Keteladanan Nabi Muhammad tersebut mendorong
lahirnya konsep universal, konsep masyarakat madani, yang hingga kini menjadi
rujukan seluruh umat.
Di
tengah keteladanan konsep masyarakat madani, publik harus mengakui bahwa konsep
ini masih jauh dengan keseharian masyarakat Indonesia. Belakangan ini, isu
terkait intoleransi begitu gencar disuarakan, baik secara langsung maupun
secara daring melalui media sosial. Rigiditas dalam pemahaman agama akhir-akhir
kembali menyeruak ke permukaan, melahirkan kelompok-kelompok ekstremisme
sebagai imbas dari pemahaman radikal. Dalam konteks hubungan sosial
kemasyarakatan, paham tersebut tak jarang memicu konflik, bahkan konfrontasi
secara fisik antara satu kelompok dengan kelompok lain. Pada tanggal 15
Februari 2017, Gereja Masehi Advent di Palu nyaris dibakar sekelompok oknum
tidak dikenal. Masih di tahun yang sama, 17 Oktober 2017, sebuah masjid yang
tengah dibangun di kabupaten Bireun, Aceh habis dibakar oleh sekelompok orang
tak dikenal. Bukan hanya itu, belakangan ini kasus persekusi juga ramai
wira-wiri menghiasi media warta negeri ini.
Seiiring
dengan pesatnya perkembangan teknologi, paham radikalisme kini juga giat
disebar melalui media sosial. Sebagaimana catatan Bruce Hoffman (2006),
kelompok radikal telah lama memanfaatkan ruang dunia maya dengan mendirikan
ribuan situs dari berbagai bahasa. Agus (2015) menerangkan bahwa di media
sosial terdapat propaganda yang secara gamblang menarasikan doktrin keagamaan
yang ekstrem dan radikal. Rasanya hampir tidak ada bentuk perbedaan yang dapat
ditolerir oleh para ekstremis. Perbedaan seakan menjadi hal yang selalu
dicari-cari serta dijadikan alat untuk menyerang mereka yang berseberangan. Hal
tersebut kemudian mengakibatkan hilangnya marhamah, meningkatnya rasa saling
curiga, dan intoleransi tingkat tinggi. Ketidakdewasaan dalam memandang
perbedaan akhirnya dapat berujung pada jurang perpecahan, hal yang jelas-jelas
bertentangan dengan idealisme hidup masyarakat madani.
Fakta
bahwa Al Quran itu hanya satu, namun penafsirannya sebanyak isi kepala para
mufassir, seharusnya menjadi gambaran bagi kita bahwa perbedaan itu merupakan
suatu keniscayaan. M. Quraish Shihab dalam Mata Najwa episode Cerita Dua
Sahabat, mengatakan bahwa membaca ayat-ayat dalam Al Quran dapat diibaratkan
seperti melihat sebuah benda menggunakan berlian. Dilihat dari sudut pandang
mana saja, benda tersebut tetap tidak berubah, hanya sudut pandang terhadap sisi
berliannya saja yang berbeda6. Analogi yang sama kemudian dapat digunakan untuk
mengamati seekor gajah. Orang A bisa saja berpendapat bahwa gajah itu besar dan
itu benar. Orang B mungkin akan mengatakan bahwa gajah memiliki belalai dan itu
juga benar. Sehingga kebenaran bisa saja beragam. Kesalahan banyak umat
belakangan ini yang membuat para penyeru ajarannya sekaligus pengikutnya
bersitegang adalah karena mereka menganggap bahwa kebenaran itu tunggal. Hal
inilah yang seyogianya dipahami dan dihayati agar tidak menambah panas suasana
intoleransi di negeri ini.
Ahmad Mustofa Bisri (2017) juga mengatakan jika
memang kita ingin meneladani Nabi Muhammad SAW, maka kita harus memiliki sifat
dan sikap toleran. Rasulullah SAW juga diriwayatkan sering membenarkan beberapa
pendapat umatnya yang berbeda. Alam raya ini berbeda, tumbuhan berbeda, bahkan
sidik jari manusia satu dengan lainnya tidak ada yang sama. Lantas tidakkah
kita berpikir bahwasanya Allah memang menghendaki adanya perbedaan? Harus
disadari kemudian bahwa keragaman adalah keniscayaan akan hukum Tuhan atas
ciptaan-Nya. Langkah solusional yang harus umat ini lakukan kemudian adalah
mencari titik temu antara keragaman dan perbedaan-perbedaan tersebut, agar
supaya tercapai kesepakatan yang dapat meningkatkan ukhuwah antar umat.
Dalam kaitannya dengan upaya pembentukan
masyarakat madani, masyarakat Indonesia harus sepakat menggunakan kacamata yang
sama dalam memaknai hakikat perbedaan, yaitu “kacamata moderat”. Seperti yang
dijelaskan dalam Q.S Al-Baqarah/2:143, dimana salah satu kualifikasi umat
madani adalah ummatan wasathan, yang bermakna pertengahan atau moderat. Posisi
pertengahan menjadikan masyarakat tidak memihak yang kanan atau yang kiri.
Posisi ini merupakan posisi terbaik yang dapat mengantar masyarakat untuk
berperilaku adil. Lebih lanjut, Kosasih (2013) berpendapat bahwa keberadaan
masyarakat madani pada posisi tengah menjadikan mereka tidak mudah hanyut oleh
materialisme dan tidak pula mengantarkannya membumbung tinggi ke alam rohani,
sehingga tidak lagi berpijak di bumi. Inilah esensi dan urgensi pemakaian
“kacamata” yang sama agar setiap lapisan masyarakat memiliki visi yang sama
guna mendukung upaya pembentukan masyarakat madani di Indonesia.
Begitulah gambaran masyarakat madani, masyarakat
yang dengan ilmunya mampu menjadikan jiwa mereka senantiasa damai, tidak mudah
melakukan praktik takfir, dan menghakimi. Mempelajari agama dengan ilmu
merupakan upaya antisipatif untuk menghindarkan diri dari mudahnya penetrasi
paham ekstremisme, baik di dunia nyata maupun maya. Dengan ilmu kita juga dapat
memahami urgensi penggunaan “kacamata moderat” di tengah pluralitas masyarakat
Indonesia. Sehingga meskipun setiap orang memiliki misi dan kepentingan yang
berbeda-beda, kita masih dapat mencari jalan tengah untuk berkomitmen dengan
satu visi yang sama, mengarah ke satu tujuan yang sama, yaitu membangun
masyarakat madani di bumi Indonesia. Oleh karena itu, mari kita bergandeng
tangan saling mengingatkan dan menguatkan karena sudah saatnya masyarakat
Indonesia bangkit, sudah saatnya perbedaan dikonversi menjadi kekuatan sehingga
dapat terjalin ukhuwah yang erat, menjaga islam tetap di jalan moderat untuk
Indonesia yang terus baku erat. Dengan demikian, konsep masyarakat madani bukan
tidak mungkin dapat terwujud di bumi pertiwi.
REFERENSI
1.A.
Kosasih, “Konsep Masyarakat Madani”. Sosial. 2017, 1-17.
2.Farid
Assifa, “Sebuah Gereja di Palu Nyaris Dibakar Orang Tak Dikenal”, Kompas,
(https://regional.kompas.com/read/2017/02/15/12232951/sebuah.gereja.di.palu.nyaris.dibakar.orang.tak.dikenal
diakses 8 April 2018).
3.Muhyidin – Agus Yulianto, “PP
Muhammadiyah Sayangkan Pembakaran Masjid di Aceh”, Republika,
(http://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/17/10/18/oy079h396-pp-muhammadiyah-sayangkan-pembakaran-masjid-di-aceh
diakses 8 April 2018).
4.Bruce
Hoffman, Inside Terrorism, (Amerika Serikat: Columbia University Press,
2006) hlm 3.
5.Agus
Surya Bakti, “Media Sosial dan Radikalisasi”, Republika
(http://www.republika.co.id/berita/koran/opini-koran/15/03/16/nlarob4-media-sosial-dan-radikalisasi
diakses 5 April 2018).
6.Mata
Najwa Episode Cerita Dua Sahabat, 2017.
7.Dikutip dari pernyataan KH.
Abdurrahman Wahid, mantan Presiden Indonesia keempat.
Terima kasih sharing nya
BalasHapus