Senin, 04 Juli 2016

Diary Tanah Rantau Part #4




Setelah menjalani masa-masa job training selama hampir 4 bulan, akhirnya aku (sempat) diberi kesempatan untuk mengemban tanggung jawab penuh, ditugaskan sendiri gitu. Loh kok sempat? Karena akhirnya aku kembali nge-job lagi, jooo! Haha. Mungkin kamu berpikir aku belum capable gitu ya. Aku juga mikir gitu sih. Tapi lucunya, beberapa waktu kemudian aku kembali diminta dinas sendiri buat ganti dinas pegawai lain dan setelah itu aku kembali nge-job. “Hey! aku kok berasa jadi selir yang dipanggil saat dibutuhin aja gini”. Sedih? Biasa aja sih haha. Karena pada dasarnya aku siap ngerjain apa aja, eitss, dengan catatan kerjaan itu nggak bertentangan dengan apa yang aku yakini daaan nggak ganggu quality time dengan keluarga di rumah pastinya. Aseek.
Bak telenovela kenamaan meksiko yang pernah hits di Indonesia, Rosalinda Ay amor, kegalauan tentang status (kerjaku) itu bergulir dengan dibumbui polemik dan intrik selama hampir dua bulan lamanya. Kalau ini asli aku lebay banget jooo hahaha. Bak gelombang, polemik itu emang nggak selalu naik (membuncah), ada kalanya turun (mereda), dan kadang biasa-biasa aja. Nah, yang paling bikin suntuk itu ya kalau lagi membuncah, aku merasa menjadi kambing guling tapi nggak tahu mau ngguling kemana. Ngguling ke kanan nanti dikira pro sama yang kanan, ngguling kekiri dikira pro sama kubu kiri. *Itulah kenapa, aku nggak bisa digantungin gini, Bang! Ditimpuk sendal :D*
Bahkan di penghujung Bulan Ramadhan, konflik itu malah semakin menjadi. Perang yang selalu males aku hadapi, perang dingin. Brrr. Kalau di depan, keduanya kalem-kalem aja, tapi kalau udah nggak ada orangnya, duorrrr... meledaklah semua ucapannya. Coba tebak perang ini terjadi antarpria atau antarwanita hayooo! ^^
Sedangkan aku yang dipeributkan itu bingung mau ngapa jadi aku senyum ajalah sambil #Pura-PuraGila #Pura-PuraBego haha. Aku pribadi menganggap kedua kubu itu tetep ada benarnya, keduanya menginginkan yang terbaik buat aku cuma caranya beda. Kubu kiri menginginkan aku segera dinas sendiri (tidak nge-job lagi) supaya aku mendapatkan pengalaman dan tanggung jawab lebih sebagai bekal ilmu yang dapat kubawa saat kembali ke kampus nanti. Sedangkan kubu kanan menginginkan aku tetep job training aja supaya aku punya waktu yang lebih fleksibel, apalagi deket-deket momen lebaran kan, jadi aku bisa ambil libur lebih gampang.
Baik dua-duanya, bukan?  
Baik sih, tapi kebaikan yang bertolak belakang itu membuatku galau mengatur tanggal pulang ke kampung halaman. Masak gara-gara ribet urusan jadwal aja, aku nggak bisa mudik heuheu. Bagiku sepenting apapun kerjaanku, family come first. Apalagi aku sudah nggak bisa merayakan momen idul fitri tahun ini di kampung halaman. Jadi agenda untuk pulang setelahnya itu wajib bagiku.
Jadi.... aku butuh kepastian.

Primadona Tak Menjamin Bahagia
Karena dirasa tidak adil oleh beberapa pihak, sempat ada yang menganggapku primadona. Disayang karena tidak boleh dinas malam, disayang karena tidak boleh dinas sendirian. Hmm, aku tahu itu guyonan dan aku memang memaknai itu sebagai sebuah candaan. Tapi intisari dari candaan itu sedikit banyak sempat menghantuiku selama beberapa hari. Di satu sisi, aku bersyukur atas perhatian yang diberikan dengan tidak membolehkanku dinas malam, tapi di sisi lain aku juga mempertanyakan malu dengan pemaknaan emansipasi yang pernah aku tulis disini. Ada perasaan bersalah, malu, dan rasa nggak enak saat aku seringkali merepotkan begini. Menjadi primadona ternyata tidaklah seenak dan sebahagia yang aku pikir sebelumnya.
           Urgensi atas jawaban dari rumitnya ketidakpastian jadwal itu meyakinkan langkahku menuju ruangan kepala seksi. Kuketuk perlahan pintunya. Terselip sedikit harapan agar beliau sedang tidak ada di ruangannya. Loh kok gitu? Iya, biar nggak jadi lapor gitu karena sebenernya aku takut-takut malu. Jangan lebay, Nis. Geli. Tetapi Tuhan sepertinya ingin mengajarkanku tentang keberanian. Daaan... aku berhasil bertemu dengan Bapak Kepala Seksi, ku beranikan diri mengutarakan apa yang aku rasakan, tanpa membela pihak manapun, dan hanya menginginkan kepastian. Deg-deg an tapi akhirnya lega. Alhamdulillah.
        Tak butuh waktu lama, keesokan harinya jadwal revisi Bulan Juli terpampang di papan pengumuman kantor. Dan aku kembali diberi kesempatan untuk belajar sendiri, belajar bertanggung jawab penuh dengan informasi cuaca yang aku berikan. JELAS. Ada salah satu kubu yang sedikit banyak kecewa dengan perubahan itu. Tapi aku berusaha bersikap biasa saja, tetap baik kepada beliau, meski kerasa banget kalau di-kacangin. Huaaa. Ahsudahlah. Aku lelah membebankan banyak hal dalam otakku.
          Sepulang dari tempat kerja, aku segera membeli tiket kereta dan alhamdulillah-nya masih ada. Tiket sisa yang harganya lebih dari 2 kali tiket eksekutif yang aku beli “biasanya”. Bukan nyombong jooo tapi kereta api yang menuju kampungku itu memang cuma eksekutif. Syedihhh.
          Tapi aku sadar, perjuanganku untuk pulang itu nggak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan teman-temanku yang ditempatkan sangat jauh dari kampung halaman, jauh dari keramaian, akrab dengan serba-serbi kekurangan. Itu juga kalau masih bisa pulang. Nyatanya banyak dari mereka yang terpaksa membuang rindunya jauh-jauh dan mungkin mengutuk setiap foto teman lainnya yang, seakan, memamerkan kepulangannya.
        Aku sadar, kepulangan bukan melulu soal harga tapi momen yang didapat saat bersama keluarga. Semahal itu ternyata. Untuk kamu yang belum pernah merantau, sungguh, maksimalkanlah setiap momen yang tercipta, ukirlah kenangan manis sebanyak-banyaknya. Supaya nanti kamu tahu rasanya rindu itu seperti apa.
Untuk waktu yang kurang dari 3 hari, untuk keluarga yang jarang aku temui sejak masa perantauanku tahun 2011, aku menyempatkan kembali ke kampung halaman, memeluk mama kemudian menumpahkan air mata. Aku pulang.
 Home, a place where your feet may leave but your heart  will always be. -Unknown-

0 komentar:

Posting Komentar