Kamis, 30 Juni 2016

Dukacita Kemarau Basah



MEDIA warta Indonesia dihebohkan lagi oleh bencana banjir dan tanah longsor yang terjadi di beberapa wilayah di Provinsi Jawa Tengah (Jateng). Curah hujan tinggi selama beberapa hari terakhir menjadi pemicunya. Berdasarkan laporan sementara Badan Penanggulangan Bencana Daerah, banjir dan longsor di Provinsi Jateng melanda Kebumen, Banjarnegara, Wonosobo, Purworejo, Banyumas, Karanganyar, Wonogiri, dan Kota Solo. Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Sutopo Purwo Nugroho, menyebut, hingga Senin (20/6), total korban tewas mencapai 47 orang dan luka-luka 15 orang.

Deputi Bidang Meteorologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Yunus S Swarinoto, menyatakan, hujan lebat terjadi karena ada kenaikan suhu muka laut di wilayah perairan Indonesia barat. Kondisi tersebut dibarengi oleh masuknya aliran massa udara basah dari Samudera Hindia serta pelemahan aliran massa udara dingin Australia di wilayah Indonesia. Perpaduan kondisi atmosfer itu menjadi pemantik peningkatan curah hujan yang berbuntut banjir dan tanah longsor di Provinsi Jateng.

Fenomena hujan yang turun secara sporadis di beberapa kawasan di Indonesia memang terbilang aneh mengingat Juni merupakan masa kemarau. Selain kedinamisan kondisi atmosfer, hujan pada musim kemarau juga merupakan dampak La Nina. Akibatnya, curah hujan pada periode kering jadi meningkat dengan sifat normal hingga di atas normal. Kondisi tersebut membuat musim kemarau bersifat basah atau lazim dikenal dengan istilah kemarau basah.

Berdasarkan prediksi BMKG, La Nina berpeluang muncul dengan intensitas lemah atau sedang pada Juli, Agustus, dan September 2016 atau lebih akrab dikenal sebagai periode JAS. Bersamaan fenomena La Nina, kehangatan suhu di bagian barat Pulau Sumatera dibanding suhu muka laut di pantai timur Afrika menimbulkan pertambahan potensi hujan di wilayah Indonesia bagian barat, termasuk Pulau Jawa.

Optimasi Mitigasi
La Nina diartikan sebagai fenomena alam global yang ditandai dengan kondisi suhu permukaan air laut di Samudera Pasifik ekuator berada di bawah nilai normal (menjadi lebih dingin). Sebaliknya, kondisi suhu laut di wilayah perairan Indonesia menjadi di atas normal (menjadi lebih hangat).Penurunan suhu muka laut di Samudera Pasifik mengakibatkan wilayah itu bertekanan tinggi. Di lain sisi, kawasan Indonesia akan mengalami tekanan rendah karena ada penghangatan suhu muka laut. 

Perbedaan tersebut mendorong massa udara di daerah tekanan tinggi mengalir ke wilayah Indonesia. Dampaknya, terjadi pengangkatan massa udara nan kaya uap air. Pengangkatan massa udara, lama-kelamaan, mengakibatkan penumpukan yang kemudian berpeluang besar membentuk awan hujan. Karenanya, pada bulan-bulan yang seharusnya berlangsung musim kemarau, justru diwarnai hujan lebat.

Kepala BMKG, Andi Eka Sakya, menerangkan, kemunculan La Nina juga diikuti fenomena Dipole Mode Negatif. Indian Ocean Dipole merupakan fenomena interaksi laut dan atmosfer di Samudera Hindia yang dihitung berdasarkan selisih suhu muka di perairan pantai timur Afrika dengan perairan di sebelah barat Pulau Sumatera. Perbedaan nilai anomali suhu seperti itu disebut sebagai Dipole Mode Index atau DMI. Nilai DMI negatif bakal berdampak terhadap peningkatan curah hujan di Indonesia bagian barat. Indeks Dipole Mode diprediksi menguat pada Juli hingga September. 
 
Masih adanya potensi hujan dapat menjadi rambu-rambu bagi pemerintah, lembaga terkait, serta masyarakat untuk tetap meningkatkan kewaspadaan. Bencana banjir dan tanah longsor di Provinsi Jateng seharusnya bisa dijadikan cerminan betapa penting mewaspadai gejolak alam serta betapa bahaya acuh terhadap informasi cuaca, khususnya peringatan dini cuaca ekstrem. Sayang kiranya jika informasi cuaca BMKG yang telah didiseminasikan melalui berbagai media tidak dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat.
Bencana banjir dan longsor bukan sekali atau dua kali terjadi. Dan, tak jarang, bencana memakan korban jiwa. Berkaca kepada dampak tersebut, optimasi upaya mitigasi bencana merupakan urgensi dan pekerjaan rumah besar bagi pemerintah daerah sebagai pengemban kebijakan.
Upaya mitigasi, baik secara struktural maupun non-struktural, dapat dilakukan jika ada kerja sama dan kolaborasi baik antara pemerintah, lembaga kebencanaan, serta warga. Meskipun kerugian masih tetap ada, upaya preventif terkait bencana setidaknya mampu meminimalisasi kerugian material maupun immaterial. (*)

Sumber: Tribun Jateng

0 komentar:

Posting Komentar