Malam itu (04/07) aku dan dia
bersiap menjemput sahabatku, teman deket dia juga sih, yang baru saja landing dari Jakarta. Kami sengaja
berangkat lebih awal, niatnya supaya bisa bercengkerama lebih lama tapi
pesawatnya delay. Alaah... Alhasil kami
memutuskan untuk singgah dulu di kantorku, sekalian parkir-in motor juga sih haha. Dan kebetulan yang lagi dinas
saat itu asyik-asyik orangnya, yeay! Sekalian
deh ikut nimbrung, hitung-hitung
menjalin silahturahmi dan kedekatan juga. Nggak
lama berselang, pesawat yang
membawa sahabatku itu tiba, kami segera jalan kaki menuju bandara yang lokasinya
hanya beberapa meter saja dari kantor.
Setelah bertemu dan sedikit chit-chat dengan sehabatku itu, kami
memutuskan untuk segera pulang. Sebelumnya aku nggak punya feeling apa-apa,
biasa aja, sampai di suatu waktu, dia tiba-tiba nyletuk pengen ngajak ngomong bentar. Jeng jeng jeeeeng...
“Nis, ayo duduk dulu deh aku mau ngomong sesuatu.”
“Hah? Mau ngomong apaan? Ada yang salah ya? Aku salah ya?” Asli,
aku bukannya salting tapi kaget aja dia ngomong gitu.
“Gara-gara aku cie-cie
in sama dia (re: sahabatku), ya? Aku kan cuma bercanda. Hikshiks.”
“Bukan kok, ini nggak ada hubungannya sama dia.”
“Lah terus? Aku salah ngomong, ya?” Seakan masih nggak percaya dia ngomong gitu
“Ini tentang kamu. Ciee.
Udah ah ayo nyari tempat yang agak sepi.”
Ini jelas bukan tentang so
sweet-so sweet an sodara-sodaraaa. Aku melihat mukanya yang sarat kekecewaan,
malah hampir seperti marah. Kekecewaan itu seakan sudah lama terpendam. Dalam setiap
haha hihi ku, ada rasa takut yang nggak mau aku tunjukin. Saat itu,
bandara sudah mulai sepi dan terlihat beberapa orang sibuk wara-wiri membersihkan area sekitar kami. Kami akhirnya duduk di
depan jejeran etalase tempat makan di bandara itu. Aku masih (sok) ketawa-ketiwi meskipun hatiku agaknya
gemetaran. Ya kali hati bisa gemetaran, Nis. haha
“Aku mau ngomong sesuatu tapi kamu jangan marah, ya?” Dia
terlihat, masih, mencoba menyunggingkan senyum tapi masam.
“Apasih? Aku salah, ya? Iya, aku nggak marah.”
“Gini, aku merasa kamu beda banget akhir-akhir ini.”
“Hah? Beda gimana sih? Aku bener-bener nggak paham.”
“Aku kayak melihat kamu krisis jati diri sekarang. Waktu di
kampus, aku dulu bener-bener kagum sama kamu, sama gimana kamu pegang teguh
pendirian kamu, idealismemu. Tapi sekarang kamu kayak ikut-ikutan orang. ABS
(AsalBosSenang) gitu. Entah karena lingkungan kerjamu yang memang gitu atau
karena apa aku nggak tahu. Ini nggak
sekali dua kali terjadi gitu soalnya dan sebagai temen kamu, aku pengen ngingetin kalau manusia itu pasti ada
salahnya, pasti ada “nggak bisanya”.
Jangan maksa meng-iya-kan setiap perkataan bahkan sampe mencari-cari alasan. Pun,
jangan menuruti semua saran yang dialamatkan ke kamu. Kalau nggak bisa ya bilang nggak bisa. Gimanapun kamu mencoba sempurna
dimata orang, bakal tetep ada aja yang menilaimu salah. Namanya juga manusia,
tempatnya salah. Yang mau aku katain adalah, be yourself, Nis.”
...
Percakapan malam itu berlangsung sekitar 20 menitan, nggak lama tapi sangat mengena. Jleb, banget.
Aku cuma diam. Nahan nangis sebenarnya. Semesta seakan memaksa hati kecilku
untuk membenarkannya. Aku tahu dia tidak marah dan aku diam bukan karena amarah.
Aku hanya nggak bisa berkata-kata.
Aku tersadar, akhir-akhir ini aku memang seperti memaksakan
diri untuk bisa melakukan segalanya. Disuruh ini iya, disuruh itu siap juga. Aku
melakukan itu tak lain karena aku berusaha tahu posisiku. Sebagai junior, aku berusaha
sadar diri, melakukan yang terbaik yang aku bisa meski kadang juga menyiksa.
Aku mengalah, sebenar-benarnya mengalah. Lebih baik aku kehilangan libur, lebih
baik aku berjuang sedikit daripada ada keributan, ada kesalahpahaman, lebih
baik aku saja yang disalahkan. Aku siap menjadi kambing hitam. Seriusan. Sama
sekali tidak keberatan. Secara sadar, aku tanamkan pemahaman itu pada diriku.
Aku tidak sadar jika pemikiran itu akhirnya dinilai membunuh
karakterku. Kalau gini terus mungkin bisa saja aku menjadi penerus antek-antek
korupsi, yang jelas-jelas aku anti. Tapi sungguh aku nggak pernah kepikiran uang, nggak
ada kepikiran jabatan, nggak ada
kepikiran ingin disayang. Aku cuma benci keributan. Aku trauma. Aku lelah
mendegar aib-aib orang yang disodorkan secara gamblang. Aku hanya bisa diam.
Aku takut menolak karena aku berusaha menghargai, tak ingin mengecewakan. Aku
adalah orang yang nggak enakan juga,
takut banget kalau sampai membuat sakit hati orang. Aku ingin baik ke semua
orang tidak memandang dia dari kubu kanan atau kubu kiri. Aku ingin netral.
Dan aku baru menyadari,
sekerdil ini pemikiranku sekarang.
Benar ku ternyata salah, bagaimanapun aku mencoba untuk
melakukan yang terbaik dan tidak menyakiti hati orang pasti akan selalu ada
orang yang memandangku salah. Bahkan karena pemikiranku itu, mungkin ada orang
yang berpikir aku nggak punya
pendirian. Aku mudah jadi bahan suruh-suruhan. Aku mudah jadi kambing yang bisa
dihitamkan. Junior yang memang layak direndahkan. Sepertinya benar aku harus
mulai kembali menjadi diriku sendiri. Karena aku sadar aku nggak mungkin bisa sempurna, akan selalu ada orang yang benci.
Dia mengatakan padaku untuk tidak terlalu frontal seperti
saat aku di kampus dulu. Karena sekarang aku hidup diantara mereka yang lebih
senior, jauh lebih tua dariku, bukan sebaya atau lebih muda. Sepertinya aku
harus mulai belajar menjadi diri sendiri, lagi.
Terimakasih untuk dia yang sudah mengingatkanku, yang support tiap kali aku menghadapi
gagalku, yang memotivasiku untuk senantiasa
produktif, berbuat, berkata, dan berprasangka baik. Nggak banyak ngomong tapi action.
Bertanggung jawab atas sebuah perasaan tanpa mengumbar pengharapan yang
sarat ketidakpastian. *EH yang itu diluar topik hihi*. Selain sahabat laki-laki
paling ketje aku semasa SMA, kamu
adalah orang yang juga mewakili pengkhayalanku tentang “how a men should be”. Pemikiran, perbuatan, akhlakmu membuatku
terkesima pada beberapa waktu. Kau tahu? Diam-diam aku belajar banyak darimu.
Uuuuuuu :')
BalasHapusUuuuuu 😳
HapusUuuuuuu :')
BalasHapusbener banget, aku juga cenderung buat cari aman gara-gara nggak mau cari keributan. sebenarnya jargon "be yourself" itu nggak benar-benar jadi "yourself" banget karena orang lain itu pasti punya ekspektasi terhadap kita. sama kayak aku yg disuruh ngomong banyak padahal aku mah aslinya kalem tea.
BalasHapusKalem banget kamu maaaah. ASLI! Sebelas dua belas sama aku kan ya 😂
Hapusaku pikir cuma aku yang ngerasain fase "perubahan ABS" itu. ternyataaaa....
BalasHapusngelak dikira nantang, nurut eh dibego2in u,u