Belajar Dari Buku “Lautan Langit”
Tulisan
yang satu ini sempat membuatku menitihkan air mata. Semua berawal dari impian,
bukan? Dan aku memimpikan hal seperti ini. Masya Allah so sweetnya. Tapi
bedanya, kalau di cerita ini si tokoh begitu terbatas interaksinya dengan
lelaki, sedangkan aku? Sudah jadi hal yang biasa mengingat sahabatku banyak
cowoknya juga, dulu haha. Lumayan panjang tapi worth to read banget, khususnya buat
kaum adam ini haha. Yuk langsung simak aja!
“Dulu aku
sangat khawatir tentang pernikahan. Aku khawatir bila aku harus lebih banyak
mengalah dan memendam perasaan, khawatir bila laki-laki yang menikah denganku
itu ringan tangan, tidak pengertian, tidak bisa mendengarkan, dan aku harus
menahan perasaan karena aku takut untuk mengungkapkan.
Bahkan laki-laki yang nampak baik mendekatiku, aku tetap khawatir karena bisa jadi dia berbuat demikian karena sedang melakukan pendekatan denganku. Ibu yang mengetahui kekhawatiranku hanya tersenyum sambil mengusap rambutku. Beliau berusaha menenangkan kekhawatiranku. Andai ayah masih ada, tentu aku bisa minta tolong beliau tentang hal ini. Setidaknya beliau bisa jadi perisai yang kuat dan memberitahuku pengetahuan tentang laki-laki tapi beliau sudah tiada.
Interaksiku terbatas dengan laki-laki. Ibu mengajarkan demikian. Bagaimana aku bisa tahu laki-laki bila hampir tidak pernah berinteraksi dengannya? Bahkan memandang matanya pun aku tidak berani. Aku sering mendengar bagaimana laki-laki begitu kasar kepada perempuan, di berita-berita yang kubaca dan kusaksikan di televisi.
Namun, hari ini kekhawatiranku hilang seketika. Bahkan aku sampai tersenyum ketika dia menghapuskan kekhawatiranku di hari pertama kami resmi menjadi pasangan suami istri. Aku selalu mengingat hari itu. Aku tidak tahu laki-laki itu belajar dari mana dan entah bagaimana dia menciptakan cara yang bagiku sangat mengesankan.
Malam itu, malam pertama. Ketakutanku memuncak terhadap laki-laki asing dalam hidupku. Aku mempertaruhkan kehidupanku pada laki-laki yang meskipun orang berkata dia laki-laki baik, aku belum percaya sampai bisa membuktikannya sendiri.
Malam itu, selepas acara seharian, ia mengajakku shalat isya berjamaah, shalat yang mungkin paling banyak doanya dalam malam itu. kami melanjutkan dengan shlat sunnah hingga selesai. Ia melihatku yang diam saja, mungkin terlihat kikuk. Ia tersenyum dan seperti membaca pikiranku. Aku tidak bisa membuka pembicaraan.
Ia berdiri dan mengambil kertas dari meja dan spidol besar dari laci. Ia menulis sesuatu di kertas dan menunjukkannya padaku.
“Mau ngobrol sama aku nggak?”
Ditulisnya begitu di kertas dan aku tersenyum. Aku mencair. Dia kembali duduk di depanku, seperti tahu betul kekhawatiranku, dia membuka pembicaraan.
“Sayang, kunci dari setiap hubungan di alam semesta ini adalah komunikasi. Komunikasi yang baik, entah itu antar manusia atau manusia dengan pencipta. Dan hari ini aku ingin kita menciptakan itu. komunikasi yang baik.” Dia diam sejenak.
Aku tersenyum dengan panggilannya kepadaku. Ini pertama kalinya ia mengatakannya tanpa malu-malu!
“Aku sudah memikirkan tentang hal ini jauh hari sebelum menikah. Aku tidak ingin siapapun yang jadi istriku takut untuk mengutarakan apapun yang sedang dipikirkannya, mengutarakan keresahannya, bahkan ketika mengingatkanku. Aku khawatir dzalim kepadamu.”
Aku duduk menyimak. Dia mendekatkan duduknya kepadaku, aku terkaget. Ia memintaku duduk bersila. Ia bersila di depanku dan semakin merapatkan kakinya hingga lutut kami bertemu. Kami berjarak rapat sekali. ini pertama kalinya aku memandang wajahnya sangat teliti. Pertama kali. Sangat dekat dan ia tersenyum.
“Aku ingin kita melakukan ini selepas kita shalat malam, setiap hari. Kalaupun kamu sedang berhalangan untuk shalat, kita tetap bisa melakukannya selepas aku shalat.”
Aku penasaran dengan apa yang akan ia lakukan.
“Mana tanganmu?” dia memintaku menunjukkan telapak tanganku, keduanya.
Tiba-tiba ia menggenggam tanganku, tanpa ragu! Aku terkejut dan dia tertawa. Aku ikut tertawa. Jantungku masih berdetak kencang. Kami berdua duduk bersila berhadapan begitu dekat dia atas sajadah, aku bahkan masih mengenakan mukena.
“Tutup matanya,” katanya.
Aku mengikuti instruksinya. Dia juga menutup mata. Hampir sekitar tiga menit tidak ada kata-kata sama sekali. aku merasakan tangannya yang begitu hangat dan detak jatungnya yang terasa di pergelangannya yang lembut.
“Sayang, tenangkan diri dan rasakan apapun yang diterima oleh tubuh kita. Entah itu dari dinginnya lantai yang menembus sajadah ini, udara di sekitar kita, hangatnya genggaman tangan kita, detak jantung kita.”
Aku kembali konsentrasi dan merasakan semuanya. Rasanya begitu tenang, seperti meditasi. Benar, ini pasti meditasi! Begitu sunyinya bahkan aku bisa mendengarkan hembusan nafasnya. Aku bisa mendengar detak jantungku sendiri. Aku merasakan tangannya semakin hangat dan ketakutanku padanya tiba-tiba hilang.
“Dalam hitungan kelima, mari buka mata kita” ujarnya.
Hitungan kelima aku membuka mata, aku menyaksikan wajahnya tersenyum.
“Sekarang, aku ingin mengutarakan apapun yang aku rasakan tentang kamu hari ini. Kamu siap mendengarkan? Syaratnya, tidak boleh dijawab atau disanggah. Sepakat?”
Aku mengangguk.
“Yang aku rasakan tentang kamu hari ini, kamu gugup, kamu terlihat begitu takut denganku, aku khawatir kamu ragu-ragu denganku. Aku merasa kamu ingin mengatakan sesuatu kepadaku tapi takut akan sesuatu. Selepas shalat tadi aku merasa kamu ketakutan. Sekian.”
Aku terkejut. Sejujur itu seperti tidak memedulikan bahwa ini hari bahagia. Ia bisa memilih kata-kata yang lebih cinta dari ini. Menyanjung misalnya.
“Giliranmu,” ia tersenyum dan terlihat sinar matanya berubah, berubah begitu penyayang.
“Yang aku rasakan tentang kamu hari ini, kamu menyebalkan. Aku takut padamu karena aku khawatir,” kalimatitu tercekat. Aku terhenti dan menangis. Ia membiarkanku menangis. Ia membiarkanku! Tanpa memelukku sama sekali sampai aku berhenti. Ia tersenyum melihatku berhenti menangis. Tiba-tiba aku berpikir mengapa aku berharap dipeluk?
“Ungkapkan semuanya yang kamu rasakan tentangku.” ujarnya sambil menguatkan genggaman tangannya seolah mengisyaratkan padaku agar jangan takut mengatakan.
Tiba-tiba mulutku lepas mengeluarkan semua kekhawatiranku dahulu. Ia mendengarkan seksama. Aku merasa kekhawatiranku terdahulu benar-benar sirna dan kepercayaanku pada laki-laki dihadapanku membuncah. Ia tidak menjawab bahkan menyanggah apapun. Ternyata itu syarat ‘permainan’ kami ini.
Selesai itu aku yang bergerak memeluknya tanpa malu-malu meski pertama kali. Aku telah percaya dan mengetahui bahwa kekhawatiranku sama sekali tidak akan terjadi. Aku menangis karena bahagia, bahagia karena laki-laki ini benar-benar hebat dalam pengertian.
Dan sekarang adalah hari pernikahan kami yang sekian ratus. Untuk kesekian ratus kali pula selepas shalat malam kami melakukan hal yang sama. Saling mengungkapkan apa yang kami rasakan tentang pasangan kami hari itu. Pernah suatu hari aku marah dengannya dan aku mengatakannya malam itu dalam suasana yang sangat tenang. Bagaimana mungkin kamu marah dengan seseorang tapi bisa mengungkapkan kemarahanmu dalam ketenangan? Kami melakukannya. Bahkan ketika aku dianggapnya tidak bertanggung jawab dengan beberapa pekerjaan hari itu, dia mengatakan semuanya dengan jujru dan aku menerimanya dengan tenang.
Biasanya, selepas sesi shalat itu, kami tersenyum atau tertawa, kami saling minta maaf atau mencandai. Dan hingga hari ini kami benar-benar membangun cara komunikasi yang baik. Ia berhasil. Aku tidak pernah khawatir bila dia pergi jauh untuk pekerjaan, kami tidak memiliki prasangka buruk, kami tidak pernah berasumsi, kami saling percaya.
Ia berhasil membuatku percaya
bahwa laki-laki yang baik itu memang ada.“
0 komentar:
Posting Komentar