Minggu, 22 November 2015

Ayah dan Anak Laki-Lakinya



Belajar Dari Buku “Lautan Langit”

Tulisan yang ini bisa banget dijadikan referensi pembelajaran mengenai parenthink khususnya untuk melahirkan jiwa sosial pada anak. Karena masa-masa potensial itu terjadi saat kita dalam fase anak-anak, maka pendidikan yang diberikan orangtua pada anak merupakan pendidikan yang fundamental dan dapat membentuk karakter anak tersebut saat dewasa. Tokoh ayah dalam cerita ini merupakan contoh pria yang suamiable juga, bagiku hehe. Yuk deh, langsung simak aja!

Sore itu aku mengajak anak laki-lakiku berkendara menyusuri kota. Tadabbur kota istilahnya. Sejak kemarin, ia rewel minta mainan dan belum berdamai hingga sore ini. Hari ini aku akan memberikannya pelajaran penting. Mungkin bukan tentang mainan tapi tentang menghargai hidup. Dimulai dari depan rumah, dekat palang pintu kereta, aku bertanya kepada anak laki-lakiku yang tampan seperti aku ini.
                “Nak, kira-kira kalau ayah bekerja sebagai penjaga pintu kereta, apa ayah bisa ngajak kamu jalan-jalan kayak gini? Atau main sama adikmu seperti biasanya?”

Mukanya masih terlipat, rupanya pancinganku belum berhasil. Namanya juga anak-anak. Akhirnya aku jawab sendiri.
                “Tahu gak, kalau lebaran mungkin ayah ndak akan dirumah karena harus bertugas menjaga pintu kereta. Atau setiap malam ayah harus pergi karena bertugas disana. Kita mungkin jarang liburan, karena kalau ayah libur, nanti palang pintu keretanya ndak ada yang jaga.”

Kami meneruskan perjalanan. Sepertinya harus lebih berat pelajarannya, ia sudah mulai fokus. Aku menepikan mobil ke bantaran sungai, mencoba menggelar tikar di tepi sungai yang kotor. Pura-pura menikmati pemandangan. Ia tidak mau keluar dari mobil, aku membiarkannya lama sampai ia sebal.
                “Yah, ngapain sih disitu lama-lama. Bau tahu, Yah!”
                “Kamu gak mau keluar? Ayo sini!”
                Gak ah, Yah. Pindah, ayo!”

Menang! Pembicaraan sudah terbuka. Aku bergegas menggulung tikar dan masuk mobil. Mobil berjalan pelan disamping bantaran sungai.
                “Kamu di dalam mobil aja udah gak betah, apalagi tuh lihat anak-anak seusiamu pada tinggal disana. Bapak ibu mereka setiap hari datang kerumah kita lho, kamu ndak tahu?”
                   “Yang mana, Yah?”
                  “Yang membuat tempat sampah depan rumah kita bersih siapa kalau bukan mereka? Mereka bekerja mengumpulkannya setiap hari, lho. Kalau ndak ada mereka, rumah kita bisa kotor banget.”

Ia diam.

Pembelajaran selanjutnya. Aku membelokkan mobil ke halaman Rumah Yatim Piatu, tempat biasa aku dan istriku berkunjung setiap bulan. Melihat mobil kami masuk, para petugas yang sudah hafal segera menghampiri.
                “Wah, tumben Pak, ndak biasanya” sapa petugas panti.
                “Iya nih, mau ngajak jagoan kecil ini main kesini, biar kenal.”
                Aku mengajak anak laki-lakiku ini berkenalan dengan anak-anak di dalam yang semuanya memanggilku ayah. Ia heran.
                “Yah, kenapa mereka semua memanggil ayah dengan sebutan ‘Ayah’?”
                “Karena mereka sudah tidak punya orangtua lagi, Nak. Jadi mereka tinggal disini, bapak ibu penjaga disini juga jadi orang tua mereka.”

Senjata terakhir sore ini adalah mengajaknya ke ruang bermain. Anak-anak di panti yang sudah akrab denganku itu segera kukenalkan dengan anakku yang usianya lebih muda satu-dua tahun dari mereka. Meski ia masih kikuk, pada akhirnya suasana cair. Aku membiarkannya bermain di dalam sementaraaku menemui pemilik panti untuk ngobrol.

Hari sudah semakin gelap, aku mengajaknya pulang. Hari ini, aku ingin memberinya hadiah karena telah mengikuti pelajaran hidup dengan baik. Membelikannya mainan yang ia minta kemarin. Mobil berbelok ke toko mainan langgananku zaman muda dulu. Sepertinya bapak dan anak sama saja.
Ia memilih dengan ragu. Aku bertanya kenapa?
                “Ayah boleh nggak kalau beli mainannya sepuluh?” tanyanya ragu.
                Kok banyak amat? Buat apa?”
            “Buat dikasih ke panti, Yah. Kasihan disana nggak ada mainan banyak. Besok mainan dirumah juha dibawa ke panti aja jadi bisa main disana.”
                “Kalau begitu, ambil seperlunya.”
                “Asyik!”
                “Pembelajaran hidup selesai. Semoga tumbuh menjadi anak dengan pemahaman yang baik” batinku sambil membayar seluruh mainan yang ia ambil.
                “Berapa, Mbak?”
                “Semuanya Rp970.000, Pak”
Sepertinya besok-besok akan ada pembelajaran tentang ekonomi untuk anak ini.


0 komentar:

Posting Komentar