Selasa, 06 Oktober 2015

Berhenti Menantang Alam


sumber: https://biotechinasia.files.wordpress.com

Permasalahan di Indonesia tak lantas terhenti setelah lengsernya presiden masa orde baru akibat krisis multidimensi yang berkepanjangan. Indonesia pasca reformasi justru disodori permasalahan yang tak kalah runyamnya. Isu pemanasan global yang ramai diperbincangkan merupakan salah satu tugas berat bangsa Indonesia mengingat beberapa pulau seperti Sumatera dan Kalimantan yang notabene merupakan salah satu paru-paru terbesar dunia sudah rutin menderita “sakit”. 
Bencana kabut asap yang mendera selama beberapa bulan terakhir membuat beberapa negara mengecam keras Indonesia akibat emisi gas yang dihasilkannya. Bencana kabut asap disinyalir juga merupakan penyebab semakin menipisnya lapisan ozon yang tak lain berujung pada semakin parahnya pemanasan global yang terjadi. Berdasarkan laporan ke-4 (Assesment Report 4) International Governmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2007, kegiatan manusia diyakini memberikan andil sangat besar dalam percepatan peningkatan GRK. Tak heran jika menurut culture of safety, 90% bencana kabut asap di Indonesia disebabkan oleh manusia sedangkan musim kemarau hanya menyumbang 10% dari setiap kemungkinannya.
Jika industri merupakan masalah terbesar beberapa negara maju terkait dengan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang dihasilkan, maka Indonesia segera menyusul melalui bencana kabut asap akibat kegemaran membakar hutannya. Selain bersifat sebagai polutan yang menyebabkan kualitas udara menurun drastis, bencana kabut asap juga telah memakan korban jiwa. Tak hanya menjadi derita dalam negeri, buntut bencana kabut asap juga meresahkan negara tetangga. Baik netizen hingga pemerintah negara Malaysia dan Singapura sudah berteriak hebat melalui sindirannya yang  dikenal dengan #terimakasihIndonesia.
Mungkin karena terlalu sering digembar-gemborkan, isu perubahan iklim akibat pemanasan global, seringkali dinafikan begitu saja, seperti angin lalu yang terasa tetapi dibiarkan begitu saja. Masalah pemanasan global dianggap sebagai komoditi seputar badan, lembaga, dan instansi lingkungan terkait lingkungan semata. Padahal pemanasan global bukanlah tanggung jawab pemerintah saja, melainkan tanggung jawab bersama, karena kita dan pemerintah itu hidup diatas tanah bumi yang sama, berpayung di bawah langit bumi yang juga sama.
Jamak dari kita hanya akan kalang kabut –panik dan bingung- jika bencana nyatanya sudah terjadi di depan mata. Karena merasa kepepet otomatis mereka akan akan mengupayakan segala upaya untuk meminimalisir dampaknya atau jika mungkin menghentikan bencananya. Sungguh hal yang sudah biasa terjadi di negeri ini. Ingat kasus reog ponorogo yang diklaim negara tetangga, bukan? Kita baru tergopoh-gopoh membela dan memperjuangkannya sebagai kekayaan milik Indonesia setelah negara tetangga mengklaim sebagai miliknya. Namun konflik tersebut akhirnya mereda seiring dengan diadakannya proses kompromi pemerintah dan usaha untuk mematenkannya. Sayangnya, permasalahan mengenai perubahan iklim akibat pemanasan global bukanlah hal yang dapat diselesaikan dengan rekonsiliasi atau perundingan meja bundar. Ketika alam murka, apakah ada yang bisa mengajaknya kompromi? Tidak, jawaban yang sudah cukup jelas.
Pun sudah sejak lama masyarakat dunia menyoroti pemanasan global. Bentuk kepeduliannya terwujud dalam bentuk Konferensi Tingkat Tinggi Bumi pada Juni 1972 di Rio de Jeneiro Brazil hingga KTT Durban 2011. Tujuan utamanya tidak lain adalah mengurangi emisi GRK. Di lain pihak, wakil presiden Amerika Serikat, Al Gore, menyuarakan kepeduliannya dalam sebuah film dokumenter berjudul An Inconvenient Truth pada tahun 2006. Lebih lanjut, film ini kemudian diangkat menjadi sebuah materi ceramah ilmiah dengan elaborasi nama An Inconvenient Truth The Planetary Emegency of Global Warming and What We Can Do About It, yang berhasil membangkitkan rasa keprihatinan masif, membelalakkan mata dunia, dan memunculkan tunas tunas baru peduli lingkungan.
Tak berhenti sampai disana, para aktivis peduli lingkungan, khususnya global warming juga menyuarakan dan menunjukkan kepeduliannya melalui berbagai media sosial. Seakan tak mau kalah, pemerintah juga menggaungkan program pembangunan berwawasan lingkungan. Bak kisah bawang merah dan bawang putih, pasti masih ada saja, bahkan banyak, oknum-oknum nakal yang tidak mau tahu urusan lingkungan. Rencana Umum Tata Ruang & Wilayah seringkali dilanggar. Di daerah saya contohnya, beberapa hektar sawah produktif disulap menjadi mall, taman rekreasi, tempat belanja, yang pada akhirnya diikuti oleh kedai-kedai makanan kecil disebalahnya. Pohon-pohon dihutan lindung ditebang, tanahnya diangkut untuk pembangunan, pasirnya digali dari sungai aliran dan masih banyak lagi kegiatan yang merusak alam dan semata-mata mengincar dolar. Sungguh kondisi miris dan memprihatinkan.
Sudah saatnya, lagi, kita ditampar oleh keadaan, kita diingatkan. Berikutnya merupakan kumpulan beberapa hal yang saya rangkum sebagai akibat dari semakin memburuknya pemanasan global yang akan semakin mempercepat laju perubahan iklim.

1.       Untuk pertama kalinya dalam sejarah, konsentrasi rata-rata CO2 mencapai angka yang dikhawatirkan para ilmuwan yaitu 400 ppm selama beberapa bulan penuh. Bahkan konsentrasi CO2 pada bulan April 2014 tercatat, 401,33 ppm, padahal selama kurun waktu 800.000 terakhir konsentrasi CO2 tidak pernah melebihi 300 ppm. Menurut National Oceanic and Atmospheric Administration’s (NOAA) Earth System Research Lab, tingginya konsentrasi CO2 tersebut merupakan kunci faktor terjadinya global warming.
2.       Kawasan tropis yang menjadi surga flora dan fauna tak lagi menjadi tempat berkembang yang baik, hal tersebut dibuktikan dengan matinya bunga karang sebesar 90-95% di Kepulauan Seribu yang kemudian ikut menimbulkan tingginya suhu air laut.
3.       Perubahan musim dimana musim kemarau lebih panjang juga merupakan salah satu dari sekian akibat yang ditimbulkan karena global warming, alhasil seringkali di dengar kasus gagal panen besar-besaran, krisis air bersih dan kebakaran hutan yang marak terjadi di daerah Sumatera dan Kalimantan. Selain itu, penelitian dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika menyebutkan, Februari 2007 merupakan periode dengan intensitas curah hujan tertinggi selama 30 tahun terakhir di Indonesia. Kedua hal kontras itu menandakan perubahan iklim mendera begitu hebatnya. Terlebih Indonesia harus merasakan dampak perubahan iklim tersebut pertama kali karena letaknya di ekuator.
4.       Naiknya suhu air laut karena pencairan blok-blok es di kutub juga membuat beberapa pulau seperti Maladewa harus mencari hunian baru untuk tetap hidup. Naiknya suhu air laut tersebut juga memicu tingkat keparahan badai yang semakin meningkat. Terbukti dengan artikel yang dipublikasikan dalam Nature dimana kecepatan angin maksimum dari siklon tropis terkuat meningkat secara significan sejak tahun 1981.
5.       Mungkin tak banyak yang mengira jika mencairnya es di belahan bumi utara maupun selatan disinyalir juga menjadi penyebab giatnya aktivitas seismik di dunia. 10,000 tahun yang lalu: aktivitas tektonik yang memicu gempa dalam berbagai skala kekuatan tercatat di wilayah Kanada. ‘Kebetulan’, saat itu glacier di wilayah tersebut mencair. 1979, gempa St Elias berkekuatan 7.2 Richter mengguncang Alaska. ‘Kebetulan’, data yang ada menggambarkan konsentrasi glacier yang berada di sekitar patahan lempeng tersebut semakin menipis semenjak 80 tahun berjalan.

Hal diatas sudah seharusnya menjadi tamparan para pemangku kekuasaan, pemegang otoritas dalam perusahaan tak ramah lingkungan, dan seluruh penduduk bumi tanpa terkecuali. Namun kondisi yang berbeda justru terlihat dalam jamak masyarakat bumi Indonesia, bukan malah membatasi pemakaian kendaraan pribadi namun semakin giat pamer sedan merk terkini sedangkan para pengusaha nakal rajin membuang limbah sana-sini. Sekedar jago gengsi dan cari enak sendiri. Yakin anda tega membiarkan anak cucu yang bahkan belum lahir terjebak dalam kemurkaan bumi yang malang? Atau mungkin anda masih tidak percaya dampak global warming separah ini? Ini bumi bukan hanya untuk kehidupan sekarang tapi juga nanti. Jika semakin lama kita menutup mata dengan apa yang terjadi, berusaha masa bodoh dan tidak peduli, saya takut hal itulah yang akan menutup mata selama-lamanya.


0 komentar:

Posting Komentar