![]() |
sumber: https://biotechinasia.files.wordpress.com |
Permasalahan
di Indonesia tak lantas terhenti setelah lengsernya presiden masa orde baru
akibat krisis multidimensi yang berkepanjangan. Indonesia pasca reformasi
justru disodori permasalahan yang tak kalah runyamnya. Isu pemanasan global
yang ramai diperbincangkan merupakan salah satu tugas berat bangsa Indonesia
mengingat beberapa pulau seperti Sumatera dan Kalimantan yang notabene
merupakan salah satu paru-paru terbesar dunia sudah rutin menderita
“sakit”.
Bencana
kabut asap yang mendera selama beberapa bulan terakhir membuat beberapa negara
mengecam keras Indonesia akibat emisi gas yang dihasilkannya. Bencana kabut
asap disinyalir juga merupakan penyebab semakin menipisnya lapisan ozon yang
tak lain berujung pada semakin parahnya pemanasan global yang terjadi.
Berdasarkan laporan ke-4 (Assesment Report 4) International
Governmental Panel on Climate Change (IPCC) tahun 2007, kegiatan manusia
diyakini memberikan andil sangat besar dalam percepatan peningkatan GRK. Tak
heran jika menurut culture of safety, 90% bencana kabut asap di
Indonesia disebabkan oleh manusia sedangkan musim kemarau hanya menyumbang 10%
dari setiap kemungkinannya.
Jika
industri merupakan masalah terbesar beberapa negara maju terkait dengan emisi
Gas Rumah Kaca (GRK) yang dihasilkan, maka Indonesia segera menyusul melalui
bencana kabut asap akibat kegemaran membakar hutannya. Selain bersifat sebagai
polutan yang menyebabkan kualitas udara menurun drastis, bencana kabut asap
juga telah memakan korban jiwa. Tak hanya menjadi derita dalam negeri, buntut
bencana kabut asap juga meresahkan negara tetangga. Baik netizen hingga
pemerintah negara Malaysia dan Singapura sudah berteriak hebat melalui
sindirannya yang dikenal dengan #terimakasihIndonesia.
Mungkin
karena terlalu sering digembar-gemborkan, isu perubahan iklim akibat pemanasan
global, seringkali dinafikan begitu saja, seperti angin lalu yang terasa
tetapi dibiarkan begitu saja. Masalah pemanasan global dianggap sebagai
komoditi seputar badan, lembaga, dan instansi lingkungan terkait lingkungan
semata. Padahal pemanasan global bukanlah tanggung jawab pemerintah saja,
melainkan tanggung jawab bersama, karena kita dan pemerintah itu hidup diatas
tanah bumi yang sama, berpayung di bawah langit bumi yang juga sama.
Jamak dari
kita hanya akan kalang kabut –panik dan bingung- jika bencana nyatanya
sudah terjadi di depan mata. Karena merasa kepepet otomatis mereka akan akan
mengupayakan segala upaya untuk meminimalisir dampaknya atau jika mungkin
menghentikan bencananya. Sungguh hal yang sudah biasa terjadi di negeri ini.
Ingat kasus reog ponorogo yang diklaim negara tetangga, bukan? Kita baru tergopoh-gopoh
membela dan memperjuangkannya sebagai kekayaan milik Indonesia setelah negara
tetangga mengklaim sebagai miliknya. Namun konflik tersebut akhirnya mereda
seiring dengan diadakannya proses kompromi pemerintah dan usaha untuk
mematenkannya. Sayangnya, permasalahan mengenai perubahan iklim akibat
pemanasan global bukanlah hal yang dapat diselesaikan dengan rekonsiliasi atau
perundingan meja bundar. Ketika alam murka, apakah ada yang bisa mengajaknya
kompromi? Tidak, jawaban yang sudah cukup jelas.
Pun sudah
sejak lama masyarakat dunia menyoroti pemanasan global. Bentuk kepeduliannya
terwujud dalam bentuk Konferensi Tingkat Tinggi Bumi pada Juni 1972 di Rio de
Jeneiro Brazil hingga KTT Durban 2011. Tujuan utamanya tidak lain adalah
mengurangi emisi GRK. Di lain pihak, wakil presiden Amerika Serikat, Al Gore,
menyuarakan kepeduliannya dalam sebuah film dokumenter berjudul An
Inconvenient Truth pada tahun 2006. Lebih lanjut, film ini kemudian
diangkat menjadi sebuah materi ceramah ilmiah dengan elaborasi nama An
Inconvenient Truth The Planetary Emegency of Global Warming and What We Can Do
About It, yang berhasil membangkitkan rasa keprihatinan masif,
membelalakkan mata dunia, dan memunculkan tunas tunas baru peduli lingkungan.
Tak berhenti
sampai disana, para aktivis peduli lingkungan, khususnya global warming juga
menyuarakan dan menunjukkan kepeduliannya melalui berbagai media sosial. Seakan
tak mau kalah, pemerintah juga menggaungkan program pembangunan berwawasan
lingkungan. Bak kisah bawang merah dan bawang putih, pasti masih ada saja,
bahkan banyak, oknum-oknum nakal yang tidak mau tahu urusan lingkungan. Rencana
Umum Tata Ruang & Wilayah seringkali dilanggar. Di daerah saya contohnya,
beberapa hektar sawah produktif disulap menjadi mall, taman rekreasi, tempat
belanja, yang pada akhirnya diikuti oleh kedai-kedai makanan kecil
disebalahnya. Pohon-pohon dihutan lindung ditebang, tanahnya diangkut untuk
pembangunan, pasirnya digali dari sungai aliran dan masih banyak lagi kegiatan
yang merusak alam dan semata-mata mengincar dolar. Sungguh kondisi miris dan
memprihatinkan.
Sudah
saatnya, lagi, kita ditampar oleh keadaan, kita diingatkan. Berikutnya
merupakan kumpulan beberapa hal yang saya rangkum sebagai akibat dari semakin
memburuknya pemanasan global yang akan semakin mempercepat laju perubahan
iklim.
1.
Untuk
pertama kalinya dalam sejarah, konsentrasi rata-rata CO2 mencapai
angka yang dikhawatirkan para ilmuwan yaitu 400 ppm selama beberapa bulan
penuh. Bahkan konsentrasi CO2 pada bulan April 2014 tercatat, 401,33
ppm, padahal selama kurun waktu 800.000 terakhir konsentrasi CO2 tidak pernah
melebihi 300 ppm. Menurut National Oceanic and Atmospheric Administration’s (NOAA)
Earth System Research Lab, tingginya konsentrasi CO2 tersebut
merupakan kunci faktor terjadinya global warming.
2.
Kawasan
tropis yang menjadi surga flora dan fauna tak lagi menjadi tempat berkembang
yang baik, hal tersebut dibuktikan dengan matinya bunga karang sebesar 90-95%
di Kepulauan Seribu yang kemudian ikut menimbulkan tingginya suhu air laut.
3.
Perubahan
musim dimana musim kemarau lebih panjang juga merupakan salah satu dari sekian
akibat yang ditimbulkan karena global warming, alhasil seringkali di dengar
kasus gagal panen besar-besaran, krisis air bersih dan kebakaran hutan yang
marak terjadi di daerah Sumatera dan Kalimantan. Selain itu, penelitian dari
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika menyebutkan, Februari 2007
merupakan periode dengan intensitas curah hujan tertinggi selama 30 tahun
terakhir di Indonesia. Kedua hal kontras itu menandakan perubahan iklim mendera
begitu hebatnya. Terlebih Indonesia harus merasakan dampak perubahan iklim
tersebut pertama kali karena letaknya di ekuator.
4.
Naiknya suhu
air laut karena pencairan blok-blok es di kutub juga membuat beberapa pulau
seperti Maladewa harus mencari hunian baru untuk tetap hidup. Naiknya suhu air
laut tersebut juga memicu tingkat keparahan badai yang semakin meningkat.
Terbukti dengan artikel yang dipublikasikan dalam Nature dimana
kecepatan angin maksimum dari siklon tropis terkuat meningkat secara significan
sejak tahun 1981.
5.
Mungkin tak
banyak yang mengira jika mencairnya es di belahan bumi utara maupun selatan
disinyalir juga menjadi penyebab giatnya aktivitas seismik di dunia. 10,000
tahun yang lalu: aktivitas tektonik yang memicu gempa dalam berbagai skala
kekuatan tercatat di wilayah Kanada. ‘Kebetulan’, saat itu glacier di wilayah
tersebut mencair. 1979, gempa St Elias berkekuatan 7.2 Richter mengguncang
Alaska. ‘Kebetulan’, data yang ada menggambarkan konsentrasi glacier yang
berada di sekitar patahan lempeng tersebut semakin menipis semenjak 80 tahun
berjalan.
Hal diatas
sudah seharusnya menjadi tamparan para pemangku kekuasaan, pemegang otoritas
dalam perusahaan tak ramah lingkungan, dan seluruh penduduk bumi tanpa
terkecuali. Namun kondisi yang berbeda justru terlihat dalam jamak masyarakat
bumi Indonesia, bukan malah membatasi pemakaian kendaraan pribadi namun semakin
giat pamer sedan merk terkini sedangkan para pengusaha nakal rajin membuang
limbah sana-sini. Sekedar jago gengsi dan cari enak sendiri. Yakin anda tega
membiarkan anak cucu yang bahkan belum lahir terjebak dalam kemurkaan bumi yang
malang? Atau mungkin anda masih tidak percaya dampak global warming separah
ini? Ini bumi bukan hanya untuk kehidupan sekarang tapi juga nanti. Jika
semakin lama kita menutup mata dengan apa yang terjadi, berusaha masa bodoh dan
tidak peduli, saya takut hal itulah yang akan menutup mata selama-lamanya.
0 komentar:
Posting Komentar