Sore itu adalah kali pertama saya pulang ke kampung
halaman menggunakan public transportation
sendirian, sedikit takut, mungkin banyak, hehe tapi saya nekat untuk
pulang. Maklum saja, walaupun sekolah saya sebelumnya adalah boarding school tapi saya tidak pernah
berangkat ke Malang tanpa pengawasan, kalau nggak dianter ya dinaikkan travel. Itu
karena mamaku begitu khawatir seiring maraknya kejahatan di abad kontemporer
ini. Hal tersebut sedikit banyak memberikan pengaruh yang besar bagi kehidupan
saya, saya cenderung menjadi orang yang paranoid dan takut jika akan bepergian
sendirian, sedikit tahu tempat, dan males ngafal jalanan, ngikut orang mulu
kalau keluar, kecuali kalau kepepet, the power of kepepet really comes out haha.
Ditemani oleh seorang bapak berumur 42 tahun,
seorang ibu paruh baya, dan seorang bapak lagi yang tampangnya agak nyeremin,
mereka menjaga saya layaknya anak sendiri. Bapak 42 tahun itu adalah orang
Jakarta yang menikah dengan gadis madura dan sekarang berdomisili di Surabaya.
Beliau adalah seorang supir seorang konsultan pajak dan dilihat dari
kepribadiannya, beliau adalah adalah pemeluk agama yang kuat. Beliau adalah Pak
Sudrajat, seorang yang sangat menganggap saya seperti anak sendiri. Ibu yang
paruh baya itu adalah seorang keturunan Madura yang berdomisili di Jember,
dengan logat Madura dan suaranya yang cetar selalu mampu memecah keheningan di
gerbong kereta sore itu. Seorang bapak yang bertampang sedikit menyeramkan itu
adalah orang Mojokerto, tepatnya orang Gedeg. Walaupun menyeramkan tapi
bapaknya baik, ya at least ga macem-macem lah. If you know what I mean,
walaupun saya dulu pernah latihan taekwondo dan sekarang masih ditempa untuk menjadi
karateka namun saya tetap belum begitu siap jika harus dihadapkan pada tindak
kriminal secara live hehe.
Setiap orang besar dengan kebudayaannya
masing-masing, seperti halnya bahasa ibu, kebudayaan selalu diwariskan kepada
insan-insan baru yang dilahirkan di dunia ini. Bahasa, kepribadian, watak
seseorang sedikit banyak dapat menggambarkan dimana orang itu berasal. Seorang
ibu paru baya dengan suaranya yang menggelegar seringkali berucap “ya gini ini
orang madura, apa adanya” sambil menyantap ketupat dan mengambil lauk tumis
udang yang dibungkusnya dari rumah anaknya di Jakarta, ibu tersebut berulang
kali menawarkan saya makan, tetapi saya enggan. Melihat beliau begitu laziz menyantap makanannya, aku sedikit
merasa trenyuh, aku sadar cara makan
beliau memang kurang benar, kurang bersihan, kurang sopan kalau adat ketimuran
bilang, ya bayangkan saja, tanpa sendok dan tanpa cuci tangan beliau makan
ketupat tersebut, dibukanya satu persatu pilinan janur yang tampak pucat
setelah direbus dan dibarengi dengan menyantap udang tanpa membuang kulitnya,
tampak sekali jika ibu tersebut begitu menikmati kudapannya sore itu. Seusai
makan, beliau tak lantas pergi ke kamar mandi untuk mencuci tangan bahkan ibu
tersebut membuang janur ketupat itu di sebelah kursinya dan menggantungkan
kresek yang terlihat lusuh dan berminyak karena tumisan udangnya
ditengah-tengah tempat duduk kami. Dengan bangga ibu tersebut mengatakan, ya
emang sudah jadi kebiasaan, di kampung biasanya beliau makan bersama keluarga
besar di emperan rumah dan memang seperti itu caranya, hal-hal yang seringkali
beliau sebut “apa adanya”. Aku dan Pak Sudrajat hanya tertegun melihat cara
makan ibu tersebut, memakluminya, dan tertawa kecil karena pola makan ibu
tersebut. Namun bapak yang aku katakan sedikit menyeramkan tadi nyletuk “emang gitu orang madura, jorok”.
Aku yang notabene masih keturunan madura mungkin merasa sedikit tersinggung,
namun aku memilih diam dan tidak bersikap dramatis seperti biasanya. Aku sadar
apa yang diucapkan bapak tersebut tidak salah namun juga tidak benar jika bapak
tersebut menjudge semua orang madura seperti itu. Itu hanya masalah kebudayaan,
ibu tersebut memang dari kecil diperlihatkan budaya yang seperti “itu” maka tak
salah jika ketika dewasa dan hidup di lingkungan yang sama, ibunya ya jadi
seperti itu aja, tak ada perubahan atau bahkan perkembangan. Namun satu hal
yang perlu diteladani yaitu sikap tampil apa adanya, beliau tak pernah malu dan
justru bangga akan sukunya. Beliau sama sekali tak menorehkan make-up di wajah senjanya, berpakaian ya
memang apa adanya walaupun sebenarnya beliau juga bukan orang yang tak berpunya
karena beliau sempat bercerita memiliki sawah, mobil, dan rumah tetap di tempat
tinggalnya, namun tak tertoreh sedikit kesombongan dalam kepribadiannya. Orang
madura mempunyai kebiasaan untuk berpikir jauh, menyiapkan harta untuk
diwariskan kepada anak-anaknya agar anaknya tidak hidup terlalu sengsara, agar
tidak memulai semuanya dari nol mungkin seperti orang tuanya dulu dan mereka
begitu menyayangi anak-anaknya meskipun dengan nadanya yang terdengar keras.
Iya, aku belajar banyak dari ibu ini, belajar bersyukur dengan apa yang saya
dapatkan selama ini, belajar menerima segala hal yang mungkin masih saja saya
anggap kekurangan dalam diri saya.
Apa adanya, yang sederhana, jauh dari kata riya’.
Memang sulit mengingat di zaman yang serba modern ini, setiap orang berlomba
hidup dibawah kemewahan, mobil sport, tas branded hingga miliaran, baju
bergelimang berlian, atau gaya hidup yang cetar tak ingin terkalahkan. Pada
akhirnya hanya membuat kaum adam takut meminang karena mungkin merasa tak
sanggup memenuhi kebutuhannya kelak ketika berkeluarga. Sehingga tak heran
banyak wanita Indonesia yang berbudaya glamor menikah di usia yang tak lagi
dibilang muda atau mungkin tidak menikah hingga masa tuanya tiba. Bukan menjelekkan,
karena hidup memang pilihan, saya tak ingin menjudge orang itu salah dan saya
benar, namun jika dirasa berlebihan itu pasti sebuah kesalahan, jika tetap
dilakukan maka itu menjadi sebuah pilihan, dimana pelaku wajib menerima segala
konsekuensi karenanya.
Budaya Jawa yang sarat dengan kesopanan yang
cenderung mengarah ke kesungkanan terkadang baik dalam urusan menghargai
perasaan, namun budaya Sumatera yang terus terang-an terkadang lebih baik untuk
menghindari perasaan dongkol dalam perselisihan diam. Setiap budaya negeri ini,
begitu indah jika setiap orang dapat merenungi dan menerima segala baik
buruknya. Perbedaan yang seringkali hanya mencipta perselisihan, perbedaan yang
seringkali menjadi pemisah persaudaraan, harusnya tak hadir dalam sebuah ikatan
persatuan. Jika setiap orang pandai menempatkan dirinya, mensyukuri, memaafkan
dan menerima segala kekurangan sebagai paket lengkap dari Tuhan, maka tak
mungkin lagi ada perselisihan.
Bukan untuk chauvinisme, tetapi untuk menjadi
bersyukur dan bangga dengan diri kita
apa adanya. Katakan ini pada setiap diri insan manusia “dan saya bangga menjadi
apapun saya, keturunan suku apapun saya, dilahirkan di keluarga seperti apapun
saya, karena Tuhan Maha Memiliki Rencana”.
0 komentar:
Posting Komentar