Hidup itu pilihan, katanya.
Dan mungkin aku sudah
memilih jalan hidupku. Bukan pilihan untuk hidup besok atau lusa tapi untuk
selamanya. Mungkin aku memang sangat cocok dengan Sistem Kebut Semalam (SKS),
itu kenapa aku baru bisa memutuskan jurusanku di akhir-akhir masa kelas 12.
Fisika – Universitas Indonesia, itu pilihanku, hanya satu dan aku mengosongkan
2 pilihan jurusan yang lain. Mungkin banyak orang berpikir itu keputusan yang
agak gila. Tidak mengisi penuh tiga jurusan yang disediakan, tetapi aku sudah
memikirkan benar hal itu. Aku berpikir aku tak memiliki pilihan selain
Fisika-Universitas Indonesia, mungkin bukan jurusan yang terdengar hebat di
masyarakat tapi aku ingin hidup dari itu. Jurusan impianku karena Prof. Yohanes
Surya memulai masa depan gemilangnya dari sana, seseorang yang begitu aku
kagumi setelah memperdalam pengetahuanku di bidang fisika selama ini. Fisika,
yang mungkin banyak ditakuti pelajar sekolah se-antero negeri, adalah mata
pelajaran yang bisa membuatku ‘sebesar’ ini. Fisika yang mewujudkan mimpi ku untuk
bisa terbang menggunakan pesawat terbang, yang bahkan orang tuaku pun belum
pernah merasakannya. Fisika juga yang memperkenakanku dengan orang yang paling
menyebalkan namun pernah begitu aku sayang, Ahmad Rifqi. Tak ada yang dapat
kusembunyikan, rasa marah yang sebegitu marah kecuali padanya. Dia terlampau
menjengkelkan, mungkin itu juga yang membuat ku sayang. Mungkin, karena aku
juga heran, apa yang bisa aku suka darinya :p sedangkan orang-orang yang
menyukaiku jauh lebih manis dan baik darinya.
Hidup itu pilihan, katanya.
Universitas
Indonesia, entah mengapa aku lebih tertarik dengannya daripada yang lainnya. Sungguh
aky tak berniat apa-apa, tidak mengindahkan universitas lainnya, menganggap
rendah yang lainnya, atau pemikiran buruk lain yang mungkin muncul di benak
kalian. Hanya hati ini yang memilih dan berkata itu sesuai denganku, masa
depan, dan mimpiku. Dan menurutku, tak ada seorang pun yang bisa menyalahkan
kata hati. Sebenarnya Fisika-Universitas Indonesia bukanlah pilihan mutlak
pertamaku. Karena aku sempat memikirkan FMIPA-Institut Teknologi Bandung, namun
sekali lagi aku memilih, aku lebih ingin fokus mendalami fisika medis, itu
kenapa aku lebih memilih Universitas Indonesia. Aku bukannya tak suka dunia
kedokteran seperti apa yang dimimpikan ibuku, tetapi aku merasa tak banyak
menemukan duniaku disana. Jadi jalan tengahnya aku putuskan untuk memilih
mendalami fisika medis nantinya.
Hidup itu pilihan, katanya.
Tak
berhenti disitu, aku pun di uji lagi. Semua orang memberi respon positif dengan
apa yang aku pilih dan kebanyakan dari mereka menyatakan rasa optimisnya jika
aku bakal lolos SNMPTN. Namun kenyataannya berkata lain, tanggal 27 Mei 2014
aku dinyatakan tidak lolos SNMPTN. Kecewa? Mungkin, tapi aku berusaha berpikir
positifnya, aku tidak terlalu fokus PTN dan jikalau aku masuk nanti aku harus
membayar UKT beserta mengikuti matrikulasi setelahnya. Bukannya pelit atau apa,
tetapi itu akan sia-sia jika pada akhirnya aku tak melanjutkannya. Walaupun
kedua orang tua ku sama sekali tak keberatan dengan hal itu. Sejenak mungkin
kalian bakal kaget kenapa aku mengatakan tak begitu fokus PTN karena memang
orang tuaku berharap aku bisa masuk Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK). Tuhkan,
aku kembali memilih, awalnya memang aku kurang begitu ‘sreg’ dengan PTK karena
aku merasa terikat dan harus pakai seragam lagi, huhu u,u. Dalam hati tuh
rasanya ngomong “apa bedanya dengan SMA, aku kan juga mau merasakan rasanya
jadi anak kuliahan”. Sebel, bete, ga terima, namun seiring dengan berjalannya
sang waktu itu semua terbantahkan, aku yakin dan aku ingin masuk PTK. Inilah
beberapa alasanku mengapa akhirnya aku mantap dengan PTK :
1. Sebagai
seorang wanita kita juga berhak bermimpi namun bukan berarti setelah aku masuk
PTK aku tak bisa kembali bermimpi. Selama hampir setahun lamanya aku mengenyam
ilmu astronomi, itu mengapa aku tak ragu untuk mengambil meteorologi di Akademi
Meteorologi dan Geofisika (AMG). Aku ingin menjadi menteri atau paling tidak
pencetus ide mengenai aturan tentang langit negeri ini, sehingga tak hanya
sebatas ahli nujum tentang cuaca. Kalaupun jalanku memang di Sekolah Tinggi
Ilmu Statistik itu juga bukan berarti aku harus berhenti bermimpi, matematika
yang dalam hal ini digambarkan dengan ilmu statistik tak lantas membuatku patah
arah karena aku seringkali mengatakan hal ini pada diriku sendiri “ketika
jalanku tidak selaras dengan keinginanku, aku HARUS menjadi seseorang yang
patut diperhitungkan disana. Memang itu bukan hal yang begitu aku gandrungi tetapi
menjadi orang besar bisa membuatku menggandrungi pekerjaanku.”
2. Sebagai
seorang wanita, tak pernah terbesit di pikiranku jika aku akan mengingkari
kodratku. Bekerja bukanlah tujuan utamaku dan aku tak ingin menjadi wanita workaholic. Aku sungguh sangat menerima
jika suamiku kelak memang orang yang berada ‘diatasku’, jadi dia tak perlu
berkecil hati ketika meminangku. Bukan aku berharap dia adalah bos atau
atasanku, siapapun itu, tak masalah bagiku. Aku hanya tak ingin suamiku minder
ketika denganku. Satu hal yang masih aku pegang hingga kini adalah ‘ketika aku
sudah berusaha se-optimal mungkin dan pada akhirnya aku kalah dengan seorang
lelaki, maka aku akan sangat terima, karena mereka memang seharusnya begitu’. Aku
bekerja adalah untuk diriku sendiri, memenuhi kebutuhanku dan tak lagi
bergantung pada orang tuaku. Aku bekerja untuk membuat orang tuaku bahagia dan
merasa lega karena telah berhasil membesarkanku. Aku bekerja karena ingin
berjaga-jaga ketika ada fase dimana suamiku ada jatuhnya tetapi tak sekalipun aku
berharap hal itu akan terjadi. That’s why mungkin aku terkesan ‘play safe’
dengan menuruti keinginan idealis orang tuaku untuk menjadi pegawai negeri dan
mengabdi pada negeri ini.
3. Sebagai
seorang yang besar di bidang akademisi, aku tak ingin menjadi seorang istri
yang hanya diam di rumah dan berbenah diri. Aku ingin membuat ilmu ku berguna
untuk kepentingan orang lain, termasuk untuk anak cucu ku kelak. Namun jika
memang suami menghendaki ku untuk berhenti bekerja karena kondisi yang sangat
tidak memungkinkan maka aku wajib mendengarkan suamiku. Selain itu, dengan
bekerja aku berharap ilmu yang aku dapatkan selama ini tidak tergerus oleh
waktu, sehingga aku dapat menemani anak-anakku belajar kelak.
4. Orang
tuaku seringkali bercerita tentang susahnya mencari pekerjaan saat ini, ibuku
terutama, seringkali beliau mengatakan “itu lo nak orang tua, ngenak-ngenak no
anak e dapat pekerjaan” yang dalam Bahasa Indonesia nya kurang lebih seperti
ini ‘begitu lo nak orang tua, berusaha sebisa mungkin demi anaknya biar bisa
dapat pekerjaan’. Hal tersebut dikatakan ibuku setelah mendapat telepon dari
tanteku yang hendak meminjam uang 50 juta untuk anaknya yang akan daftar
AKABRI. Sudah banyak cerita yang aku dengar bagaimana orang rela membayar
ratusan juta untuk mendapat pekerjaan. Itu juga mengapa orang tuaku ingin aku
bersekolah di PTK saja.
5. Menjadi
public figure di keluarga besarku seringkali menuntutku untuk selalu melakukan
yang terbaik yang aku bisa. Apalagi ketika mendengar langsung ayah atau ibuku
menceritakan prestasiku, mendapat beasiswa, dkk, hal itu justru membuatku
merasa sedikit tertekan dan juga malu karena terkadang orang dewasa memang suka
melebih-lebihkan sesuatu. Hal-hal yang mungkin dianggap sepele oleh orang lain
adalah sesuatu hal yang besar bagiku, karena aku merasa aku harus bertanggung
jawab dengan semua hal yang telah dikatakan orang tuaku. Karena aku uga tidak
ingin mengecewakan atau membuat malu mereka di hadapan keluarga besarku. Selama
yang aku amati hingga hari ini, setiap orang tua selalu menggebu-gebu
menceritakan kelebihan anaknya. Heran -_-
6. Ini
pesan dari kedua orang tuaku yang sangat dan tak pernah kuharapkan terjadi
dalam hidupku (naudzubillah). Aku bekerja untuk berjaga-jaga bisa hidup
sendiri, karena tak selamanya hidup berjalan sesuai dengan apa yang kita
inginkan, bisa saja suatu saat suami mu tiba-tiba betrayed you or even die
before you spend your old-phase together. Sesuatu hal yang tak pernah aku
bayangkan akan terjadi dalam hidupku. Kedua orang tuaku sering kali menceritakan
hal-hal yang terjadi di masyarakat, tentang seorang suami yang awalnya terlihat
sangat baik namun pada akhirnya bisa berbuat hal yang menyesakkan hati setiap kaum
wanita, selingkuh. Iya kalau selingkuh saja, kalau akhirnya meninggalkanmu,
bagaimana? Kamu mau apa? Kembali dengan orang tuamu yang kian renta dan menjadi
beban hidup beliau di masa tua? Tidak, aku ingin kedua orang tuaku hidup nyaman
ketika masa tuanya kelak. Tetapi tak ada yang tahu apa yang akan terjadi di
masa depan, termasuk aku dan keluargaku. Kenyataan-kenyataan hidup seperti yang
sering dipaparkan oleh kedua orang tuaku itu yang membuatku semakin ‘kekeh’
untuk bekerja.
Hidup itu pilihan, katanya.
Setelah pengumuman SNMPTN
menyatakan bahwa aku gagal, membuatku cukup banyak sadar saya wajib belajar
lebih giat untuk bisa mendapat kursi di bangku kuliahan. Namun kali ini berbeda
karena aku tak lagi meprioritaskan Fisika-Universitas Indonesia dan beralih
menjadi FMIPA-Institut Teknologi Bandung. Hal ini kulakukan setelah aku melirik
meteorologi di AMG. Hari demi hari berlalu dan saya sudah mantap dengan pilihan
saya itu, hal ini terbukti dengan kartu SBMPTN yang sudah ditangan. Tujuh hari
sebelum penutupan pendaftaran SBMPTN, saya dikejutkan dengan ucapan ibu saya
yang lebih menginginkan saya di Universitas Airlangga. Biar ndak jauh-jauh,
kata beliau. Ketika saya mengonfirmasi hal tersebut, ayah saya menimpali hal
yang sama, ‘di UNAIR aja’. Masalah jurusannya? Jelas fakultas kedokteran. Hal ini
kental dengan ucapan ibu saya yang selalu mengulang cerita anak teman-temannya
yang menempuh jalur pendidikan dokter, dengan maksut meneruskan dan
mengembangkan titel petugas kesehatan orang tuanya. Hal itu sontak membuat saya
galau untuk beberapa hari. Bukannya apa-apa, saya belum punya mimpi atau
sekadar pandangan menjadi dokter yang seperti apa saya kelak. Semuanya terasa
mendadak, “kenapa ndak dari awal bilangnya” keluh saya dala hati. Apalagi
sebelumnya orang tua saya menyerahkan semua keputusan tentang jurusan atau
tempat dimana saya akan melanjutkan masa depan saya, itu sebabnya saya memilih
FMIPA-ITB tanpa ragu. Alhasil setiap sholat saya selalu minta kepada Allah
untuk enunjukkan yang terbaik untuk saya, hingga sahabatku, Sidiq Amin,
menceritakan kisah tentang nabi kita, Muhammad
SAW yang memerintahkan salah seorang sahabatnya untuk pulang karena
beliau ternyata ikut nabi berperang sebelum mendapat restu dari orang tuanya.
Hal tersebut kian membuat gusar hati saya, restu orang tua rasanya tak sepenuhnya
kudapatkan. Ibuku sama sekali tak bergeming mendengar UI, UGM, ITB, atau
universitas terbaik lainnya. Hal tersebut kian membuat saya ragu akan
meneruskan pendidikan di FMIPA-ITB. Dua hari setelah itu saya memutuskan untuk
membuat KAP dan PIN baru yang menyatakan saya mengikuti SBMPTN untuk pendidikan dokter, teknobiomedik, dan fisika
Universitas Airlangga. Saya berpikir apa yang dibicarakan orang tua saya adalah
hal terbaik bagi saya. Bahkan ketika saya mengatakan saya tidak begitu tega
mendaratkan sayatan pisau bedah atau sekadar menyuntikkan obat-obat anastesi ke
tubuh pasien saya, ibu selalu mengatakan hal ini “Rasanya bakal beda, Nak. Ketika kamu dihadapkan pada seseorang yang
lagi sakit, apalagi pasien-pasien emergency
rasanya bukan lagi takut, tetapi niatnya udah gimana caranya menolong
dengan segera. La kalau pasiennya dibiarkan karena kamu takut, melayang dong
nyawa orang. Ibu dulu itu juga ndak pernah kepikiran jadi bidan, tanya o
eyangmu, gimana penakutnya ibu dulu. Tapi semuanya berubah seiring waktu, sampe
ibu berani merantau ke Jawa yang notabene jauh dari keluarga. Rasanya juga ibu
ga nyangka, darimana keberanian ini muncul orang dulu aja untuk sekadar ke
kamar mandi, ibu selalu minta diantar eyang putrimu tetapi sekarang untuk hidup
di daerah orang tanpa ada satu keluarga pun yang dekat, menolong mungkin hampir
beribu ibu melahirkan, ibu berani. Dijalani dulu, Nak. Masalah dana ya biarlah
nanti dicari-carikan pokoknya ndak sampai ratusan juta aja. Ibu sebenere ada
aja, cuma kan masih ada adekmu. Nanti kalau mau praktek ya dirumah aja
bersebelahan sama ibu.” Kata-kata ibu itu kian membuat saya mantap
menjajakan kaki di ranah kesehatan. Bagaimana tidak, ibuku bahkan sudah
memikirkan sejauh itu. Akhirnya 17 Juni 2014 lalu aku nekat mengambil Fakultas
Kedokteran-Universitas Airlangga sebagai pilihan pertamaku. Namun siapa sangka,
di tengah perjalanan saya diguyur hujan yang begitu derasnya. Kondisi jalan
yang agak banjir membuat ayah saya berhati-hati dalam mengendarai motor, eh
lakok ada bus yang nyalip dari arah depan yang hampir menabrak kami. Ayah
dengan cekatan menghindar, emang tidak terjadi tabrakan tetapi cipratan air bah
dari roda bus yang notabene lebih besar dari motor kami, semakin mengguyur kami
berdua. Parahnya, kami tidak membawa jas hujan hingga akhirnya ketika sampai di
SMAN 2 Surabaya baju dan celanaku basah, aku sontak bingung mau langsung masuk
apa ndak, karena takut tidak diijinkan memasuki ruangan dan membasahi LJK
nantinya. Ayahku yang sudah muter daerah Surabaya pagi itu tak menemukan
penjual baju satupun. Akhirnya dengan kondisi sedikit menggigil karena basah
aku memasuki ruangan ujian, hal yang membuat aku semakin terpuruk adalah kondisi
ruangan ujian yang ber-AC sentral. Dengan kondisi yang masih menggigil menahan
dingin aku mengisi LJK, aku sama sekali tak membayangkan bagaiman tulisanku
kala itu, aku hanya bisa berdoa “Ya Allah hamba terima jika hamba harus mengerjakan
dengan kondisi yang seperti ini, namun hamba mohon berilah hamba kekuatan
hingga akhir nanti.” Alhasil, tidak semua soal TKD Saintek selesai aku baca.
Menyesal? Banget. Aku bahkan tak bisa berpikir jernih kala itu sedangkan passing grade fakultas kedokteran tinggi
banget. Aku berusaha menenangkan diri setelah itu. Aku tahu kedua orang tuaku
sedih dan turut merasa bersalah dengan apa yang terjadi padaku hari itu. Tapi
berulang kali ayahku berkata “Sudah ndak papa, emang harus gitu jalannya.”
Dan itulah pilihan –pilihan
yang aku pilih, tak pernah disangka, namun nyatanya itu terjadi. Selamat
menentukan pilhan..
0 komentar:
Posting Komentar