Sabtu, 28 Juni 2014

Life Learning


Hidup itu pilihan, katanya.

Dan mungkin aku sudah memilih jalan hidupku. Bukan pilihan untuk hidup besok atau lusa tapi untuk selamanya. Mungkin aku memang sangat cocok dengan Sistem Kebut Semalam (SKS), itu kenapa aku baru bisa memutuskan jurusanku di akhir-akhir masa kelas 12. Fisika – Universitas Indonesia, itu pilihanku, hanya satu dan aku mengosongkan 2 pilihan jurusan yang lain. Mungkin banyak orang berpikir itu keputusan yang agak gila. Tidak mengisi penuh tiga jurusan yang disediakan, tetapi aku sudah memikirkan benar hal itu. Aku berpikir aku tak memiliki pilihan selain Fisika-Universitas Indonesia, mungkin bukan jurusan yang terdengar hebat di masyarakat tapi aku ingin hidup dari itu. Jurusan impianku karena Prof. Yohanes Surya memulai masa depan gemilangnya dari sana, seseorang yang begitu aku kagumi setelah memperdalam pengetahuanku di bidang fisika selama ini. Fisika, yang mungkin banyak ditakuti pelajar sekolah se-antero negeri, adalah mata pelajaran yang bisa membuatku ‘sebesar’ ini. Fisika yang mewujudkan mimpi ku untuk bisa terbang menggunakan pesawat terbang, yang bahkan orang tuaku pun belum pernah merasakannya. Fisika juga yang memperkenakanku dengan orang yang paling menyebalkan namun pernah begitu aku sayang, Ahmad Rifqi. Tak ada yang dapat kusembunyikan, rasa marah yang sebegitu marah kecuali padanya. Dia terlampau menjengkelkan, mungkin itu juga yang membuat ku sayang. Mungkin, karena aku juga heran, apa yang bisa aku suka darinya :p sedangkan orang-orang yang menyukaiku jauh lebih manis dan baik darinya.

Hidup itu pilihan, katanya.

            Universitas Indonesia, entah mengapa aku lebih tertarik dengannya daripada yang lainnya. Sungguh aky tak berniat apa-apa, tidak mengindahkan universitas lainnya, menganggap rendah yang lainnya, atau pemikiran buruk lain yang mungkin muncul di benak kalian. Hanya hati ini yang memilih dan berkata itu sesuai denganku, masa depan, dan mimpiku. Dan menurutku, tak ada seorang pun yang bisa menyalahkan kata hati. Sebenarnya Fisika-Universitas Indonesia bukanlah pilihan mutlak pertamaku. Karena aku sempat memikirkan FMIPA-Institut Teknologi Bandung, namun sekali lagi aku memilih, aku lebih ingin fokus mendalami fisika medis, itu kenapa aku lebih memilih Universitas Indonesia. Aku bukannya tak suka dunia kedokteran seperti apa yang dimimpikan ibuku, tetapi aku merasa tak banyak menemukan duniaku disana. Jadi jalan tengahnya aku putuskan untuk memilih mendalami fisika medis nantinya.

Hidup itu pilihan, katanya.

            Tak berhenti disitu, aku pun di uji lagi. Semua orang memberi respon positif dengan apa yang aku pilih dan kebanyakan dari mereka menyatakan rasa optimisnya jika aku bakal lolos SNMPTN. Namun kenyataannya berkata lain, tanggal 27 Mei 2014 aku dinyatakan tidak lolos SNMPTN. Kecewa? Mungkin, tapi aku berusaha berpikir positifnya, aku tidak terlalu fokus PTN dan jikalau aku masuk nanti aku harus membayar UKT beserta mengikuti matrikulasi setelahnya. Bukannya pelit atau apa, tetapi itu akan sia-sia jika pada akhirnya aku tak melanjutkannya. Walaupun kedua orang tua ku sama sekali tak keberatan dengan hal itu. Sejenak mungkin kalian bakal kaget kenapa aku mengatakan tak begitu fokus PTN karena memang orang tuaku berharap aku bisa masuk Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK). Tuhkan, aku kembali memilih, awalnya memang aku kurang begitu ‘sreg’ dengan PTK karena aku merasa terikat dan harus pakai seragam lagi, huhu u,u. Dalam hati tuh rasanya ngomong “apa bedanya dengan SMA, aku kan juga mau merasakan rasanya jadi anak kuliahan”. Sebel, bete, ga terima, namun seiring dengan berjalannya sang waktu itu semua terbantahkan, aku yakin dan aku ingin masuk PTK. Inilah beberapa alasanku mengapa akhirnya aku mantap dengan PTK :

1.       Sebagai seorang wanita kita juga berhak bermimpi namun bukan berarti setelah aku masuk PTK aku tak bisa kembali bermimpi. Selama hampir setahun lamanya aku mengenyam ilmu astronomi, itu mengapa aku tak ragu untuk mengambil meteorologi di Akademi Meteorologi dan Geofisika (AMG). Aku ingin menjadi menteri atau paling tidak pencetus ide mengenai aturan tentang langit negeri ini, sehingga tak hanya sebatas ahli nujum tentang cuaca. Kalaupun jalanku memang di Sekolah Tinggi Ilmu Statistik itu juga bukan berarti aku harus berhenti bermimpi, matematika yang dalam hal ini digambarkan dengan ilmu statistik tak lantas membuatku patah arah karena aku seringkali mengatakan hal ini pada diriku sendiri “ketika jalanku tidak selaras dengan keinginanku, aku HARUS menjadi seseorang yang patut diperhitungkan disana. Memang itu bukan hal yang begitu aku gandrungi tetapi menjadi orang besar bisa membuatku menggandrungi pekerjaanku.”

2.       Sebagai seorang wanita, tak pernah terbesit di pikiranku jika aku akan mengingkari kodratku. Bekerja bukanlah tujuan utamaku dan aku tak ingin menjadi wanita workaholic. Aku sungguh sangat menerima jika suamiku kelak memang orang yang berada ‘diatasku’, jadi dia tak perlu berkecil hati ketika meminangku. Bukan aku berharap dia adalah bos atau atasanku, siapapun itu, tak masalah bagiku. Aku hanya tak ingin suamiku minder ketika denganku. Satu hal yang masih aku pegang hingga kini adalah ‘ketika aku sudah berusaha se-optimal mungkin dan pada akhirnya aku kalah dengan seorang lelaki, maka aku akan sangat terima, karena mereka memang seharusnya begitu’. Aku bekerja adalah untuk diriku sendiri, memenuhi kebutuhanku dan tak lagi bergantung pada orang tuaku. Aku bekerja untuk membuat orang tuaku bahagia dan merasa lega karena telah berhasil membesarkanku. Aku bekerja karena ingin berjaga-jaga ketika ada fase dimana suamiku ada jatuhnya tetapi tak sekalipun aku berharap hal itu akan terjadi. That’s why mungkin aku terkesan ‘play safe’ dengan menuruti keinginan idealis orang tuaku untuk menjadi pegawai negeri dan mengabdi pada negeri ini.

3.       Sebagai seorang yang besar di bidang akademisi, aku tak ingin menjadi seorang istri yang hanya diam di rumah dan berbenah diri. Aku ingin membuat ilmu ku berguna untuk kepentingan orang lain, termasuk untuk anak cucu ku kelak. Namun jika memang suami menghendaki ku untuk berhenti bekerja karena kondisi yang sangat tidak memungkinkan maka aku wajib mendengarkan suamiku. Selain itu, dengan bekerja aku berharap ilmu yang aku dapatkan selama ini tidak tergerus oleh waktu, sehingga aku dapat menemani anak-anakku belajar kelak.

4.       Orang tuaku seringkali bercerita tentang susahnya mencari pekerjaan saat ini, ibuku terutama, seringkali beliau mengatakan “itu lo nak orang tua, ngenak-ngenak no anak e dapat pekerjaan” yang dalam Bahasa Indonesia nya kurang lebih seperti ini ‘begitu lo nak orang tua, berusaha sebisa mungkin demi anaknya biar bisa dapat pekerjaan’. Hal tersebut dikatakan ibuku setelah mendapat telepon dari tanteku yang hendak meminjam uang 50 juta untuk anaknya yang akan daftar AKABRI. Sudah banyak cerita yang aku dengar bagaimana orang rela membayar ratusan juta untuk mendapat pekerjaan. Itu juga mengapa orang tuaku ingin aku bersekolah di PTK saja.

5.       Menjadi public figure di keluarga besarku seringkali menuntutku untuk selalu melakukan yang terbaik yang aku bisa. Apalagi ketika mendengar langsung ayah atau ibuku menceritakan prestasiku, mendapat beasiswa, dkk, hal itu justru membuatku merasa sedikit tertekan dan juga malu karena terkadang orang dewasa memang suka melebih-lebihkan sesuatu. Hal-hal yang mungkin dianggap sepele oleh orang lain adalah sesuatu hal yang besar bagiku, karena aku merasa aku harus bertanggung jawab dengan semua hal yang telah dikatakan orang tuaku. Karena aku uga tidak ingin mengecewakan atau membuat malu mereka di hadapan keluarga besarku. Selama yang aku amati hingga hari ini, setiap orang tua selalu menggebu-gebu menceritakan kelebihan anaknya. Heran -_-

6.       Ini pesan dari kedua orang tuaku yang sangat dan tak pernah kuharapkan terjadi dalam hidupku (naudzubillah). Aku bekerja untuk berjaga-jaga bisa hidup sendiri, karena tak selamanya hidup berjalan sesuai dengan apa yang kita inginkan, bisa saja suatu saat suami mu tiba-tiba betrayed you or even die before you spend your old-phase together. Sesuatu hal yang tak pernah aku bayangkan akan terjadi dalam hidupku. Kedua orang tuaku sering kali menceritakan hal-hal yang terjadi di masyarakat, tentang seorang suami yang awalnya terlihat sangat baik namun pada akhirnya bisa berbuat hal yang menyesakkan hati setiap kaum wanita, selingkuh. Iya kalau selingkuh saja, kalau akhirnya meninggalkanmu, bagaimana? Kamu mau apa? Kembali dengan orang tuamu yang kian renta dan menjadi beban hidup beliau di masa tua? Tidak, aku ingin kedua orang tuaku hidup nyaman ketika masa tuanya kelak. Tetapi tak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan, termasuk aku dan keluargaku. Kenyataan-kenyataan hidup seperti yang sering dipaparkan oleh kedua orang tuaku itu yang membuatku semakin ‘kekeh’ untuk bekerja.

Hidup itu pilihan, katanya.

Setelah pengumuman SNMPTN menyatakan bahwa aku gagal, membuatku cukup banyak sadar saya wajib belajar lebih giat untuk bisa mendapat kursi di bangku kuliahan. Namun kali ini berbeda karena aku tak lagi meprioritaskan Fisika-Universitas Indonesia dan beralih menjadi FMIPA-Institut Teknologi Bandung. Hal ini kulakukan setelah aku melirik meteorologi di AMG. Hari demi hari berlalu dan saya sudah mantap dengan pilihan saya itu, hal ini terbukti dengan kartu SBMPTN yang sudah ditangan. Tujuh hari sebelum penutupan pendaftaran SBMPTN, saya dikejutkan dengan ucapan ibu saya yang lebih menginginkan saya di Universitas Airlangga. Biar ndak jauh-jauh, kata beliau. Ketika saya mengonfirmasi hal tersebut, ayah saya menimpali hal yang sama, ‘di UNAIR aja’. Masalah jurusannya? Jelas fakultas kedokteran. Hal ini kental dengan ucapan ibu saya yang selalu mengulang cerita anak teman-temannya yang menempuh jalur pendidikan dokter, dengan maksut meneruskan dan mengembangkan titel petugas kesehatan orang tuanya. Hal itu sontak membuat saya galau untuk beberapa hari. Bukannya apa-apa, saya belum punya mimpi atau sekadar pandangan menjadi dokter yang seperti apa saya kelak. Semuanya terasa mendadak, “kenapa ndak dari awal bilangnya” keluh saya dala hati. Apalagi sebelumnya orang tua saya menyerahkan semua keputusan tentang jurusan atau tempat dimana saya akan melanjutkan masa depan saya, itu sebabnya saya memilih FMIPA-ITB tanpa ragu. Alhasil setiap sholat saya selalu minta kepada Allah untuk enunjukkan yang terbaik untuk saya, hingga sahabatku, Sidiq Amin, menceritakan kisah tentang nabi kita, Muhammad  SAW yang memerintahkan salah seorang sahabatnya untuk pulang karena beliau ternyata ikut nabi berperang sebelum mendapat restu dari orang tuanya. Hal tersebut kian membuat gusar hati saya, restu orang tua rasanya tak sepenuhnya kudapatkan. Ibuku sama sekali tak bergeming mendengar UI, UGM, ITB, atau universitas terbaik lainnya. Hal tersebut kian membuat saya ragu akan meneruskan pendidikan di FMIPA-ITB. Dua hari setelah itu saya memutuskan untuk membuat KAP dan PIN baru yang menyatakan saya mengikuti SBMPTN untuk  pendidikan dokter, teknobiomedik, dan fisika Universitas Airlangga. Saya berpikir apa yang dibicarakan orang tua saya adalah hal terbaik bagi saya. Bahkan ketika saya mengatakan saya tidak begitu tega mendaratkan sayatan pisau bedah atau sekadar menyuntikkan obat-obat anastesi ke tubuh pasien saya, ibu selalu mengatakan hal ini “Rasanya bakal beda, Nak. Ketika kamu dihadapkan pada seseorang yang lagi sakit, apalagi pasien-pasien emergency rasanya bukan lagi takut, tetapi niatnya udah gimana caranya menolong dengan segera. La kalau pasiennya dibiarkan karena kamu takut, melayang dong nyawa orang. Ibu dulu itu juga ndak pernah kepikiran jadi bidan, tanya o eyangmu, gimana penakutnya ibu dulu. Tapi semuanya berubah seiring waktu, sampe ibu berani merantau ke Jawa yang notabene jauh dari keluarga. Rasanya juga ibu ga nyangka, darimana keberanian ini muncul orang dulu aja untuk sekadar ke kamar mandi, ibu selalu minta diantar eyang putrimu tetapi sekarang untuk hidup di daerah orang tanpa ada satu keluarga pun yang dekat, menolong mungkin hampir beribu ibu melahirkan, ibu berani. Dijalani dulu, Nak. Masalah dana ya biarlah nanti dicari-carikan pokoknya ndak sampai ratusan juta aja. Ibu sebenere ada aja, cuma kan masih ada adekmu. Nanti kalau mau praktek ya dirumah aja bersebelahan sama ibu.” Kata-kata ibu itu kian membuat saya mantap menjajakan kaki di ranah kesehatan. Bagaimana tidak, ibuku bahkan sudah memikirkan sejauh itu. Akhirnya 17 Juni 2014 lalu aku nekat mengambil Fakultas Kedokteran-Universitas Airlangga sebagai pilihan pertamaku. Namun siapa sangka, di tengah perjalanan saya diguyur hujan yang begitu derasnya. Kondisi jalan yang agak banjir membuat ayah saya berhati-hati dalam mengendarai motor, eh lakok ada bus yang nyalip dari arah depan yang hampir menabrak kami. Ayah dengan cekatan menghindar, emang tidak terjadi tabrakan tetapi cipratan air bah dari roda bus yang notabene lebih besar dari motor kami, semakin mengguyur kami berdua. Parahnya, kami tidak membawa jas hujan hingga akhirnya ketika sampai di SMAN 2 Surabaya baju dan celanaku basah, aku sontak bingung mau langsung masuk apa ndak, karena takut tidak diijinkan memasuki ruangan dan membasahi LJK nantinya. Ayahku yang sudah muter daerah Surabaya pagi itu tak menemukan penjual baju satupun. Akhirnya dengan kondisi sedikit menggigil karena basah aku memasuki ruangan ujian, hal yang membuat aku semakin terpuruk adalah kondisi ruangan ujian yang ber-AC sentral. Dengan kondisi yang masih menggigil menahan dingin aku mengisi LJK, aku sama sekali tak membayangkan bagaiman tulisanku kala itu, aku hanya bisa berdoa “Ya Allah hamba terima jika hamba harus mengerjakan dengan kondisi yang seperti ini, namun hamba mohon berilah hamba kekuatan hingga akhir nanti.” Alhasil, tidak semua soal TKD Saintek selesai aku baca. Menyesal? Banget. Aku bahkan tak bisa berpikir jernih kala itu sedangkan passing grade fakultas kedokteran tinggi banget. Aku berusaha menenangkan diri setelah itu. Aku tahu kedua orang tuaku sedih dan turut merasa bersalah dengan apa yang terjadi padaku hari itu. Tapi berulang kali ayahku berkata “Sudah ndak papa, emang harus gitu jalannya.”

Dan itulah pilihan –pilihan yang aku pilih, tak pernah disangka, namun nyatanya itu terjadi. Selamat menentukan pilhan..

0 komentar:

Posting Komentar