Rabu, 28 Oktober 2015

Pawai Generasi Gawai



 
sumber: http://keluargacinta.com
Satu, dua, tiga, lebih dari itu, mungkin tujuh. Sore itu, saya melihat sekitar tujuh orang anak berkerumun, tanpa suara, tanpa banyak gerakan seperti layaknya melakukan sebuah permainan di sebuah pemukiman padat penduduk daerah Pondok Betung, Bintaro. Dengan khidmat mereka asyik memainkan gawainya masing-masing, entah untuk bermain games atau update di berbagai media sosial. Bahkan mungkin karena asyiknya, mereka tidak menyadari ada yang lewat di depannya. Saat saya berumuran seperti mereka dulu, permainan yang ada hanyalah permainan tradisional, tetapi saya merasa sangat senang karena bisa tertawa bersama, sedangkan sekarang banyak orang yang tertawa sendiri saat melihat gawainya. Prihatin dan kasihan, itulah yang saya rasakan.
Saat ini gawai, lebih dikenal dengan gadget,  bukan termasuk dalam kelompok barang elit karena hampir setiap lapisan penduduk Indonesia memilikinya. Terlebih bagi anak muda, keberadaan gawai seakan sudah menjadi kebutuhan primer. Keaktifan mereka dalam penggunaan gawai nampak dari berbagai aktivitas yang mereka update melalui media sosial mereka. Hal ini juga dibuktikan melalui hasil riset yang digelar atas kerjasama dengan pihak Pusat Kajian Komunikasi (PusKaKom) FISIP Universitas Indonesia, yang menyebutkan bahwa pengguna internet di Indonesia pada tahun 2014 telah mencapai angka 88,1 juta, dimana angka tersebut sebanding dengan meningkatnya jumlah penggunaan gawai di Indonesia.
Kehadiran teknologi gawai sekaligus pasangannya, internet, seharusnya menjadi angin segar bagi anak bangsa sebagai sarana positif menyambut datangnya era globalisasi. Dikatakan positif karena internet memiliki segudang manfaat yang penting baik bagi masyarakat ataupun negara itu sendiri. Sehingga tidak dapat dinafikan jika Indonesia sangat memerlukan teknologi ter-update seperti gawai untuk lebih berkembang lagi. Namun yang terjadi belakangan ini justru sebaliknya.
Banyak orang tua yang memperkenalkan gawai pada anaknya sedari dini. Sadar atau tidak, banyak anak yang kemudian kecanduan dengan keberadaan barang pintar ini. Menurut salah satu pakar teknologi informasi Institut Teknologi Bandung (ITB), Dimitri Mahayana, sekitar 5-10 persen pecandu gawai terbiasa gawainya sebanyak 100-200 kali dalam sehari. Jika waktu efektif manusia beraktivitas adalah 16 jam atau 960 menit perhari, maka para pecandu gawai akan menyentuh perangkatnya 4,8 menit sekali. Lebih jauh, kebiasaan inilah yang akhirnya membuat anak tumbuh dengan sifat antipati, cenderung kurang interaksi dengan lingkungan luar. Hal ini kemudian membuat hubungan mereka dengan orang lain secara face to face akan menurun. Sehingga budaya bangsa Indonesia seperti silahturahmi seringkali tergantikan dengan ucapan selamat via beragam aplikasi gawai terkini.
Belum lagi jika gawai tersebut digunakan untuk melihat adegan porno atau kekerasan yang tak jarang memunculkan sikap brutal, merusak pikiran, bahkan telah memakan korban. Hal tersebut dapat dilihat dari kasus tewasnya seorang bocah akibat smackdown pada tahun 2006, kasus mengenai pembakaran terhadap teman di Batubara, Sumatera Utara beberapa hari lalu, dan masih banyak kasus lain yang pelakunya adalah anak-anak. Sungguh tidak habis pikir, bagaimana pemikiran keji seperti itu terlintas dalam pikiran anak-anak yang jiwanya masih lugu. Pendidikan formal mereka boleh saja dikategorikan berhasil namun pendidikan non-formal mereka berada jauh dibawah ambang batas kelulusan.
Secara tidak sengaja hal tersebut dapat mengubah citra budaya bangsa Indonesia yang dulunya dikenal begitu luhur berubah menjadi budaya yang brutal dan ngawur (sembarangan). Terlebih dengan perantara internet pada gawai tersebut, budaya barat seperti liberism, hedonism, dan pola hidup konsumtif dengan mudahnya menggerus adat atau budaya ketimuran kebanyakan anak muda saat ini. Hal tersebut dapat dilihat dari semakin jarangnya anak muda yang bertutur halus kepada orang yang lebih tua, semakin maraknya orang yang mengedepankan gengsi diatas segalanya, atau semakin banyaknya orang yang berlomba membeli barang buatan luar negeri. Hal tersebut terlihat mulai “membudaya” belakangan ini.
Tentang pendidikan, kemajuan teknologi membuat generasi kini menjadi generasi praktis. Materi pelajaran yang dulunya hanya bisa dibaca melalui buku kini sudah hadir dalam bentuk baru melalui berbagai e-book yang dapat disimpan pada gawainya. Sehingga banyak orang yang akhirnya menjadi malas menulis atau membaca. Berbagai kemudahan tersebut berpotensi menghadirkan generasi yang tidak tahan dengan kesulitan atau di beberapa negara dikenal dengan strawberry generation. Bisa jadi mereka terlihat kreatif, banyak akal, gemilang, dan penuh prestasi namun seperti halnya stroberi, generasi ini lembek dan tidak tahan pada tekanan. Padahal berlakunya Asean Economic Community (AEC) tahun ini sudah menjadi bukti nyata bahwa tantangan global bukan dihadapi dengan kemudahan namun dengan kompleksitas masalah dan jelas tekanan dari sana sini.
Lebih lanjut, teori uprooted phenomenon, lebih dikenal dengan teori ketercerabutan, yang disampaikan oleh Prof. Yanuar Nugroho, staf ahli UKP4 pada masa pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, menjelaskan bahwa tingkat penggunaan teknologi yang tinggi tanpa dibarengi dengan tingkat pendidikan yang tinggi pula akan menyebabkan fenomena destruktif, dimana penggunaan teknologi, bukan malah menjadi sarana positif menyambut globalisasi namun lebih banyak menjadi penyebab berbagai masalah degradasi generasi muda masa kini. Sehingga seakan-akan kebutuhan akan gawai tersebut mengalahkan kebutuhan lain yang lebih penting seperti pendidikan. Tidak heran kemudian jika banyak masyarakat kalangan menengah kebawah, yang kebanyakan berpendidikan rendah, tetap memprioritaskan gawai sebagai barang yang wajib dimiliki.
Ditinjau dari segi kesehatan, menurut tim peneliti di Universitas Waterloo, Kanada menyebutkan jika para pecandu gawai justru memiliki kecerdasan lebih rendah serta memiliki kesulitan dalam menganalisa, mengingat bahkan menghitung. Sungguh kabar duka bagi dunia pendidikan di Indonesia yang mayoritas pelajarnya kini termasuk pecandu gawai. Perlahan namun pasti, penggunaan gawai yang tidak pada tempatnya akan menjadi perusak generasi. Jangankan berpikir mengenai pendidikan, berpikir untuk kebaikan dirinya sendiri menjadi sulit dilakukan.
Teori Prof. Rhenald Kasali mengenai selfdriving nampaknya sesuai untuk dijadikan cambukan anak bangsa agar lebih baik lagi. Teori tersebut kurang lebih mengatakan jika manusia diberikan kendaraan yaitu dirinya sendiri. Jika berhasil menjadi good driver untuk dirinya sendiri maka ia berpeluang besar mampu berlanjut ke tahap selanjutnya yaitu drive others, drive your society, kemudian drive your nation. Namun bagi yang terperangkap hanya akan menjadi passanger, dimana potensi yang ia miliki terkubur di alam pikirannya. Berkaca dari teori selfdriving, sebagai anak muda sudah seharusnya kita mulai merasa malu dan berhenti menjadi seorang “penumpang” yang fanatik dengan gawai buatan orang.
Peredaran dan perdagangan gawai di Indonesia memang tidak mungkin bisa bendung. Lebih lanjut, pemberhentian impor gawai juga bukanlah suatu penyelesaian yang bijak karena tidak dapat dipungkiri jika keberadaan gawai merupakan suatu keniscayaan bagi beberapa sektor terkait teknologi. Satu hal mendasar yang perlu diubah adalah kebiasaan. Kebiasaan kebanyakan orang yang fanatik hingga menyebabkan kecanduan dengan gawai. Usaha-usaha lain dalam kebijakan penggunaan gawai saya rangkum dalam tiga hal yang saya singkat dengan KLCC (Keluarga, Lingkungan, Conritium Cell).
Usaha paling fundamental pertama adalah mengenai pola pendidikan dan kebijakan orang tua dalam sebuah keluarga. Orang tua sebagai madrasah pertama bagi anak-anak memegang tanggung jawab vital dalam penanaman nilai-nilai budaya dan pola pendidikan pada anak. Sehingga disamping memberikan “kendaraan” yang terbaik pada anaknya, orangtua juga wajib membekali ilmu agar anaknya dapat menjadi seorang “driver” yang baik dan handal. Sebagai role model, orang tua hendaknya memberi contoh yang baik dalam kebijakan penggunaan gawai karena seorang anak cenderung lebih banyak belajar melalui apa yang dilihatnya.
 Yang kedua adalah lingkungan. Lingkungan memberikan sumbangsih yang besar dalam menentukan hubungan seseorang dengan gawainya. Jika kita hidup dalam dunia yang bergelut dengan teknologi sudah dapat dipastikan jika frekuensi kita dalam penggunaan gawai cukup tinggi. Sama halnya jika kita hidup di tengah-tengah orang yang hobi update gawai tekini. Lingkungan seperti itu sedikit banyak akan memengaruhi gengsi dan cenderung meningkatkan frekuensi penggunaan gawai. Sedangkan hal yang nampak jelas di kalangan anak muda saat ini adalah keaktifan mereka di berbagai media sosial termasuk fenomena selfie. Tidak salah sebenarnya, namun ada beberapa dari mereka yang bisa update hampir tiap menit. Kerapatan frekuensi tersebut menunjukkan tingkat kecanduan mereka terhadap gawai yang dimilikinya. Oleh karena itu, kita wajib menyikapi hal tersebut dengan bijak dan teguh memegang prinsip yang dimiliki agar tidak mudah terbawa arus perubahan. Lebih baik lagi jika kita mampu mengajak mereka bersikap bijak terhadap penggunaan gawai.
Yang terakhir adalah the conritium cell, yaitu sebuah ungkapan dimana setiap manusia memiliki sel yang digambarkan sebagai kemauan atau tekad untuk mengkonkretkan sesuatu. Di sekeliling kita pasti ada beberapa teman kita yang sebagian besar wacananya selalu dikonkretkan, kita bisa belajar dari mereka karena concritium cell-nya kuat. Dalam hal pengasahan sel ini, tentunya diperlukan daya dobrak dan daya juang. Kita dapat belajar pada mereka terkait perjuangan pembuatan gawai, inspirasi, atau hal-hal yang memotivasi mereka sehingga sukses mengkonkretkan mimpinya. Meskipun kita tidak ikut membuatnya setidaknya kita belajar untuk tidak semata-mata menikmati produk jadinya saja tetapi juga mengapresiasi proses dibaliknya.
Lebih baik lagi jika kita dapat memanfaatkan keberadaan gawai untuk mempromosikan budaya nusantara melalui games atau kebijakan yang mewajibkan setiap aplikasi buatan Indonesia untuk menyertakan unsur budaya didalamnya. Saya rasa hal tersebut dapat menjadi trade mark tersendiri bagi bangsa Indonesia. Tetap optimis dan jaya terus bangsaku!

0 komentar:

Posting Komentar