Satu,
dua, tiga, lebih dari itu, mungkin tujuh. Sore itu, saya melihat sekitar tujuh
orang anak berkerumun, tanpa suara, tanpa banyak gerakan seperti layaknya
melakukan sebuah permainan di sebuah pemukiman padat penduduk daerah Pondok
Betung, Bintaro. Dengan khidmat mereka asyik memainkan gawainya masing-masing,
entah untuk bermain games atau update di berbagai media sosial. Bahkan
mungkin karena asyiknya, mereka tidak menyadari ada yang lewat di depannya. Saat
saya berumuran seperti mereka dulu, permainan yang ada hanyalah permainan
tradisional, tetapi saya merasa sangat senang karena bisa tertawa bersama,
sedangkan sekarang banyak orang yang tertawa sendiri saat melihat gawainya. Prihatin
dan kasihan, itulah yang saya rasakan.
Saat
ini gawai, lebih dikenal dengan gadget, bukan termasuk dalam kelompok barang elit
karena hampir setiap lapisan penduduk Indonesia memilikinya. Terlebih bagi anak
muda, keberadaan gawai seakan sudah menjadi kebutuhan primer. Keaktifan mereka
dalam penggunaan gawai nampak dari berbagai aktivitas yang mereka update melalui media sosial mereka. Hal
ini juga dibuktikan melalui hasil riset yang digelar atas kerjasama dengan
pihak Pusat Kajian Komunikasi (PusKaKom) FISIP Universitas Indonesia, yang
menyebutkan bahwa pengguna internet di Indonesia pada tahun 2014 telah mencapai
angka 88,1 juta, dimana angka tersebut sebanding dengan meningkatnya jumlah
penggunaan gawai di Indonesia.
Kehadiran
teknologi gawai sekaligus pasangannya, internet, seharusnya menjadi angin segar
bagi anak bangsa sebagai sarana positif menyambut datangnya era globalisasi. Dikatakan
positif karena internet memiliki segudang manfaat yang penting baik bagi
masyarakat ataupun negara itu sendiri. Sehingga tidak dapat dinafikan jika
Indonesia sangat memerlukan teknologi ter-update
seperti gawai untuk lebih berkembang lagi. Namun yang terjadi belakangan
ini justru sebaliknya.
Banyak
orang tua yang memperkenalkan gawai pada anaknya sedari dini. Sadar atau tidak,
banyak anak yang kemudian kecanduan dengan keberadaan barang pintar ini. Menurut
salah satu pakar teknologi informasi Institut Teknologi Bandung (ITB), Dimitri
Mahayana, sekitar 5-10 persen pecandu gawai terbiasa gawainya sebanyak 100-200
kali dalam sehari. Jika waktu efektif manusia beraktivitas adalah 16 jam atau
960 menit perhari, maka para pecandu gawai akan menyentuh perangkatnya 4,8
menit sekali. Lebih jauh, kebiasaan inilah yang akhirnya membuat anak tumbuh
dengan sifat antipati, cenderung kurang interaksi dengan lingkungan luar. Hal
ini kemudian membuat hubungan mereka dengan orang lain secara face to face akan menurun. Sehingga budaya
bangsa Indonesia seperti silahturahmi seringkali tergantikan dengan ucapan selamat
via beragam aplikasi gawai terkini.
Belum
lagi jika gawai tersebut digunakan untuk melihat adegan porno atau kekerasan
yang tak jarang memunculkan sikap brutal, merusak pikiran, bahkan telah memakan
korban. Hal tersebut dapat dilihat dari kasus tewasnya seorang bocah akibat smackdown pada tahun 2006, kasus mengenai
pembakaran terhadap teman di Batubara, Sumatera Utara beberapa hari lalu, dan
masih banyak kasus lain yang pelakunya adalah anak-anak. Sungguh tidak habis
pikir, bagaimana pemikiran keji seperti itu terlintas dalam pikiran anak-anak
yang jiwanya masih lugu. Pendidikan formal mereka boleh saja dikategorikan
berhasil namun pendidikan non-formal
mereka berada jauh dibawah ambang batas kelulusan.
Secara
tidak sengaja hal tersebut dapat mengubah citra budaya bangsa Indonesia yang dulunya
dikenal begitu luhur berubah menjadi budaya
yang brutal dan ngawur (sembarangan). Terlebih dengan
perantara internet pada gawai tersebut, budaya barat seperti liberism, hedonism, dan pola hidup
konsumtif dengan mudahnya menggerus
adat atau budaya ketimuran kebanyakan anak muda saat ini. Hal tersebut dapat
dilihat dari semakin jarangnya anak muda yang bertutur halus kepada orang yang
lebih tua, semakin maraknya orang yang mengedepankan gengsi diatas segalanya,
atau semakin banyaknya orang yang berlomba membeli barang buatan luar negeri.
Hal tersebut terlihat mulai “membudaya” belakangan ini.
Tentang
pendidikan, kemajuan teknologi membuat generasi kini menjadi generasi praktis.
Materi pelajaran yang dulunya hanya bisa dibaca melalui buku kini sudah hadir
dalam bentuk baru melalui berbagai e-book
yang dapat disimpan pada gawainya. Sehingga banyak orang yang akhirnya
menjadi malas menulis atau membaca. Berbagai kemudahan tersebut berpotensi
menghadirkan generasi yang tidak tahan dengan kesulitan atau di beberapa negara
dikenal dengan strawberry generation.
Bisa jadi mereka terlihat kreatif, banyak akal, gemilang, dan penuh prestasi
namun seperti halnya stroberi, generasi ini lembek dan tidak tahan pada
tekanan. Padahal berlakunya Asean
Economic Community (AEC) tahun ini sudah menjadi bukti nyata bahwa
tantangan global bukan dihadapi dengan kemudahan namun dengan kompleksitas masalah
dan jelas tekanan dari sana sini.
Lebih
lanjut, teori uprooted phenomenon, lebih
dikenal dengan teori ketercerabutan, yang disampaikan oleh Prof. Yanuar
Nugroho, staf ahli UKP4 pada masa pemerintahan presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, menjelaskan bahwa tingkat penggunaan teknologi yang tinggi tanpa
dibarengi dengan tingkat pendidikan yang tinggi pula akan menyebabkan fenomena destruktif, dimana penggunaan
teknologi, bukan malah menjadi sarana positif menyambut globalisasi namun lebih
banyak menjadi penyebab berbagai masalah degradasi generasi muda masa kini.
Sehingga seakan-akan kebutuhan akan gawai tersebut mengalahkan kebutuhan lain
yang lebih penting seperti pendidikan. Tidak heran kemudian jika banyak
masyarakat kalangan menengah kebawah, yang kebanyakan berpendidikan rendah,
tetap memprioritaskan gawai sebagai barang yang wajib dimiliki.
Ditinjau
dari segi kesehatan, menurut tim peneliti di Universitas Waterloo, Kanada
menyebutkan jika para pecandu gawai justru memiliki kecerdasan lebih rendah serta memiliki kesulitan dalam menganalisa,
mengingat bahkan menghitung. Sungguh kabar duka bagi dunia pendidikan di
Indonesia yang mayoritas pelajarnya kini termasuk pecandu gawai. Perlahan namun
pasti, penggunaan gawai yang tidak pada tempatnya akan menjadi perusak generasi.
Jangankan berpikir mengenai pendidikan, berpikir untuk kebaikan dirinya sendiri
menjadi sulit dilakukan.
Teori
Prof. Rhenald Kasali mengenai selfdriving nampaknya sesuai untuk
dijadikan cambukan anak bangsa agar lebih baik lagi. Teori tersebut kurang
lebih mengatakan jika manusia diberikan kendaraan yaitu dirinya sendiri. Jika
berhasil menjadi good driver untuk
dirinya sendiri maka ia berpeluang besar mampu berlanjut ke tahap selanjutnya
yaitu drive others, drive your society, kemudian drive
your nation. Namun bagi yang
terperangkap hanya akan menjadi passanger, dimana potensi yang ia miliki terkubur di alam pikirannya. Berkaca dari teori selfdriving, sebagai anak muda sudah seharusnya kita mulai merasa
malu dan berhenti menjadi seorang “penumpang” yang fanatik dengan gawai buatan
orang.
Peredaran
dan perdagangan gawai di Indonesia memang tidak mungkin bisa bendung. Lebih
lanjut, pemberhentian impor gawai juga bukanlah suatu penyelesaian yang bijak
karena tidak dapat dipungkiri jika keberadaan gawai merupakan suatu keniscayaan
bagi beberapa sektor terkait teknologi. Satu hal mendasar yang perlu diubah
adalah kebiasaan. Kebiasaan kebanyakan orang yang fanatik hingga menyebabkan
kecanduan dengan gawai. Usaha-usaha lain dalam kebijakan penggunaan gawai saya
rangkum dalam tiga hal yang saya singkat dengan KLCC (Keluarga, Lingkungan, Conritium
Cell).
Usaha
paling fundamental pertama adalah mengenai pola pendidikan dan kebijakan orang
tua dalam sebuah keluarga. Orang tua
sebagai madrasah pertama bagi anak-anak memegang tanggung jawab vital dalam
penanaman nilai-nilai budaya dan pola pendidikan pada anak. Sehingga disamping
memberikan “kendaraan” yang terbaik pada anaknya, orangtua juga wajib membekali
ilmu agar anaknya dapat menjadi seorang “driver”
yang baik dan handal. Sebagai role
model, orang tua hendaknya memberi contoh yang baik dalam kebijakan
penggunaan gawai karena seorang anak cenderung lebih banyak belajar melalui apa
yang dilihatnya.
Yang kedua adalah lingkungan. Lingkungan memberikan
sumbangsih yang besar dalam menentukan hubungan seseorang dengan gawainya. Jika
kita hidup dalam dunia yang bergelut dengan teknologi sudah dapat dipastikan
jika frekuensi kita dalam penggunaan gawai cukup tinggi. Sama halnya jika kita
hidup di tengah-tengah orang yang hobi update
gawai tekini. Lingkungan seperti itu sedikit banyak akan memengaruhi gengsi
dan cenderung meningkatkan frekuensi penggunaan gawai. Sedangkan hal yang
nampak jelas di kalangan anak muda saat ini adalah keaktifan mereka di berbagai
media sosial termasuk fenomena selfie.
Tidak salah sebenarnya, namun ada beberapa dari mereka yang bisa update hampir tiap menit. Kerapatan
frekuensi tersebut menunjukkan tingkat kecanduan mereka terhadap gawai yang
dimilikinya. Oleh karena itu, kita wajib menyikapi hal tersebut dengan bijak
dan teguh memegang prinsip yang dimiliki agar tidak mudah terbawa arus
perubahan. Lebih baik lagi jika kita mampu mengajak mereka bersikap bijak
terhadap penggunaan gawai.
Yang
terakhir adalah the conritium cell, yaitu sebuah ungkapan dimana setiap manusia
memiliki sel yang digambarkan sebagai kemauan atau tekad untuk mengkonkretkan
sesuatu. Di sekeliling kita pasti ada beberapa teman kita yang sebagian besar
wacananya selalu dikonkretkan, kita bisa belajar dari mereka karena concritium cell-nya kuat. Dalam hal
pengasahan sel ini, tentunya diperlukan daya dobrak dan daya juang. Kita dapat
belajar pada mereka terkait perjuangan pembuatan gawai, inspirasi, atau hal-hal
yang memotivasi mereka sehingga sukses mengkonkretkan mimpinya. Meskipun kita
tidak ikut membuatnya setidaknya kita belajar untuk tidak semata-mata menikmati
produk jadinya saja tetapi juga mengapresiasi proses dibaliknya.
Lebih
baik lagi jika kita dapat memanfaatkan keberadaan gawai untuk mempromosikan
budaya nusantara melalui games atau kebijakan yang mewajibkan setiap aplikasi
buatan Indonesia untuk menyertakan unsur budaya didalamnya. Saya rasa hal
tersebut dapat menjadi trade mark tersendiri
bagi bangsa Indonesia. Tetap optimis dan jaya terus bangsaku!
0 komentar:
Posting Komentar