Sabtu, 14 November 2015

Lucunya Masa Lalu




 Saya dan keluarga adalah perantau di desa kecil di sebuah daerah bernama Mojokerto. Sudah hampir 21 tahun kami menetap dan bertempat tinggal disini. Jauh, jauh dari sanak famili yang menjamur di pulau seberang, Pulau Madura. Kedua orang tua saya adalah orang madura. Saya sedikit banyak tahu pemikiran jamak orang ketika saya mengatakan saya adalah “orang madura”. Memang, banyak orang berpikir jika orang madura itu keras, galak. Terlebih saat clurit (pisau tajam yang berbentuk sedikit melengkung) merupakan ciri khas dari suku kami. Terlihat garang, terlihat seram. Saya tahu benar hal itu.
Jamak dari suku kami juga merupakan orang-orang yang seringkali didengar melakukan aksi carok (bertengkar dengan menggunakan sebilah clurit). Iya memang, saya juga mendengarnya meskipun seumur hidup saya belum pernah melihatnya dan tidak terbesit sedikitpun keinginan untuk melihatnya. Sehingga saya berpikir jika tidak salah kalau banyak orang memiliki stereotype yang setipe ketika mereka mendengar kata madura. Terlebih saat dahulu pernah terjadi kasus pembantaian masal orang madura di Kalimantan. Kasus tahun ..... Kasus yang membuat suku kami merasa kerdil dan malu atas perbuatan satu oknum yang memang kurang tahu diri. Lebih banyak orang yang mendeskreditkan suku kami.
Meskipun demikian, orang tua saya tetap memutuskan tinggal di perantauan akibat Surat Keputusan (SK) PNS ibu saya yang terdaftar di salah satu desa disini, Desa Kepuhanyar. Disinilah setiap keping cerita masa kecil hingga dewasa dimulai. Pekerjaan kedua orang tua saya yang tidak bisa diabai membuat saya akhirnya dititipkan kepada seorang ibu dari 8 orang anak. Saya biasa memanggil beliau emak karena yang lain mencontohkan begitu. Emak adalah seorang ibu paruh baya yang telaten dan sabar merawat anak. Mengingat masa kecil saya yang begitu nakal, emak adalah salah satu orang yang mampu menjinakkan saya disamping kedua orang tua saya.
Saya ingat betul masa kecil saya, setiap peristiwa, setiap kejadian, saya masih mengingatnya. Dulunya saya adalah bayi yang tidak mau, tidak bisa, minum susu formula sedangkan ibu saya diwajibkan pemerintah untuk melanjutkan sekolah dan terpaksa berada di luar kota. Disaat seperti itulah, ayah akhirnya memutuskan untuk keluar kerja dan membantu emak merawat saya. Mengetahui fakta bahwa saya tidak bisa minum susu formula dan harus minum ASI membuat emak dan ayah saya mencarikan ibu susu untuk saya, setiap hari, dan selalu begitu. Sehingga tak heran jika saya memiliki banyak ibu susu di desa saya.
Saya ingat betul masa kecil saya, setiap peristiwa, setiap kejadian, saya masih mengingatnya. Dulunya hobi saya adalah menangis. Tidak seperti kebanyakan bayi pada umumnya, frekuensi menangis saya begitu berlebihan, lebay kalau kata anak sekarang. Emak yang kadang gregetan bahkan pernah membawa saya dan mendekatkan saya ke muka sapi. Iya, SAPI. Hingga kemudian saya berhenti menangis, katanya. Saya seringkali tertawa ketika mengingat hal tersebut. Kenakalan-kenakalan saya rupanya sudah menjadi rahasia umum di desa saya. Sehingga tanpa disengaja pun, saya menjadi orang yang terkenal disini. Iya, begitu terkenal. Bisa dipastikan setiap orang yang ada di desa mengenal saya. Senang? Tidak, saya malu. Seriusan. Terlebih ketika saya semakin beranjak dewasa dan setiap orang yang melihat saya pangling (terheran-heran saat melihat perubahan) dan selalu mengungkit-ungkit masa kecil saya. Huhu
Saya ingat betul masa kecil saya, setiap peristiwa, setiap kejadian, saya masih mengingatnya. Dulunya saya adalah “bayi paling hemat” katanya. Hal itu dikarenakan saya selalu muntah saat emak menyuapi saya dengan makanan yang kebanyakan orang bilang enak, seperti bakso, daging, atau sosis. Sehingga emak selalu menyuapi saya lauk tahu tempe dan sayur bening. Selalu seperti itu. Emak juga terheran-heran. Uang bulanan yang diberikan ibu pun selalu berlebihan. Bakso yang dibelikan ibupun selalu emak yang makan. Haha. Pernah juga sewaktu ayah dan ibu mengajakku makan bakso di sebuah kedai makan, saya hanya duduk meminum es teh dan memandangi keduanya makan dengan lahap. Setiap orang yang lewat memandangku dengan belas kasihan. Pasti mereka berpikir jika orang tuaku adalah orang yang pelit. Padahal bukan demikian. Saat mengingat-ingat itu saya kembali tersenyum kecil.
Sekarang, saat saya sudah banyak mengerti, saya seringkali diejek karena masa lalu saya yang begitu, ah sudahlah. Kenyataan bahwa saya tidak bisa tinggi padahal kedua orang saya tinggi juga seringkali menjadi bahan ejekan. Mama saya yang seorang bidan mengerti benar, itu dikarenakan saya kurang gizi di waktu golden age  saya. Tetapi saya tak pernah kecil hati karena itu, tidak sedikitpun meskipun saya seringkali berakting ngambek karena itu. Saya
Meskipun begitu, meskipun kami adalah orang madura, emak tak pernah memandang sebelah mata. Emak adalah orang pertama yang menerima kami di desa ini. Hingga sampai aku dewasa. Emak dan mbahkung menyayangi saya layaknya cucu sendiri. Bahkan penghargaan juara I lomba Science tingkat Jawa Timur yang terukir diatas styrofoam saat saya SMP dulu dipajang diatas pintu rumah mereka hingga kini, hingga bentuknya sudah tidak sama lagi, sudah rusak. Setiap saya akan memutuskan masa depan saya kini saya tidak lupa mengkonsultasikannya dengan emak dan mbahkung. Termasuk urusan asmara. Semuanya. Menceritakan masa lalu saya, masa kecil saya, sama dengan menceritakan mereka. Mereka yang berjuang di balik layar hidup saya. Terimakasih emak dan mbahkung. Tunggu aku nikah nanti yaa ^^

0 komentar:

Posting Komentar