Saya dan keluarga adalah perantau di desa kecil di
sebuah daerah bernama Mojokerto. Sudah hampir 21 tahun kami menetap dan
bertempat tinggal disini. Jauh, jauh dari sanak famili yang menjamur di pulau
seberang, Pulau Madura. Kedua orang tua saya adalah orang madura. Saya sedikit
banyak tahu pemikiran jamak orang ketika saya mengatakan saya adalah “orang
madura”. Memang, banyak orang berpikir jika orang madura itu keras, galak.
Terlebih saat clurit (pisau tajam yang berbentuk sedikit melengkung) merupakan
ciri khas dari suku kami. Terlihat garang, terlihat seram. Saya tahu benar hal
itu.
Jamak dari suku kami juga merupakan orang-orang yang
seringkali didengar melakukan aksi carok (bertengkar dengan menggunakan sebilah
clurit). Iya memang, saya juga mendengarnya meskipun seumur hidup saya belum
pernah melihatnya dan tidak terbesit sedikitpun keinginan untuk melihatnya.
Sehingga saya berpikir jika tidak salah kalau banyak orang memiliki stereotype yang setipe ketika mereka
mendengar kata madura. Terlebih saat dahulu pernah terjadi kasus pembantaian
masal orang madura di Kalimantan. Kasus tahun ..... Kasus yang membuat suku
kami merasa kerdil dan malu atas perbuatan satu oknum yang memang kurang tahu
diri. Lebih banyak orang yang mendeskreditkan suku kami.
Meskipun demikian, orang tua saya tetap memutuskan
tinggal di perantauan akibat Surat Keputusan (SK) PNS ibu saya yang terdaftar
di salah satu desa disini, Desa Kepuhanyar. Disinilah setiap keping cerita masa
kecil hingga dewasa dimulai. Pekerjaan kedua orang tua saya yang tidak bisa
diabai membuat saya akhirnya dititipkan kepada seorang ibu dari 8 orang anak.
Saya biasa memanggil beliau emak karena
yang lain mencontohkan begitu. Emak adalah
seorang ibu paruh baya yang telaten dan sabar merawat anak. Mengingat masa
kecil saya yang begitu nakal, emak adalah
salah satu orang yang mampu menjinakkan saya disamping kedua orang tua saya.
Saya ingat betul masa kecil saya, setiap peristiwa,
setiap kejadian, saya masih mengingatnya. Dulunya saya adalah bayi yang tidak
mau, tidak bisa, minum susu formula sedangkan ibu saya diwajibkan pemerintah
untuk melanjutkan sekolah dan terpaksa berada di luar kota. Disaat seperti
itulah, ayah akhirnya memutuskan untuk keluar kerja dan membantu emak merawat saya. Mengetahui fakta
bahwa saya tidak bisa minum susu formula dan harus minum ASI membuat emak dan
ayah saya mencarikan ibu susu untuk saya, setiap hari, dan selalu begitu.
Sehingga tak heran jika saya memiliki banyak ibu susu di desa saya.
Saya ingat betul masa kecil saya, setiap peristiwa,
setiap kejadian, saya masih mengingatnya. Dulunya hobi saya adalah menangis.
Tidak seperti kebanyakan bayi pada umumnya, frekuensi menangis saya begitu
berlebihan, lebay kalau kata anak
sekarang. Emak yang kadang gregetan bahkan
pernah membawa saya dan mendekatkan saya ke muka sapi. Iya, SAPI. Hingga
kemudian saya berhenti menangis, katanya. Saya seringkali tertawa ketika
mengingat hal tersebut. Kenakalan-kenakalan saya rupanya sudah menjadi rahasia
umum di desa saya. Sehingga tanpa disengaja pun, saya menjadi orang yang
terkenal disini. Iya, begitu terkenal. Bisa dipastikan setiap orang yang ada di
desa mengenal saya. Senang? Tidak, saya malu. Seriusan. Terlebih ketika saya
semakin beranjak dewasa dan setiap orang yang melihat saya pangling (terheran-heran saat melihat perubahan) dan selalu
mengungkit-ungkit masa kecil saya. Huhu
Saya ingat betul masa kecil saya, setiap peristiwa,
setiap kejadian, saya masih mengingatnya. Dulunya saya adalah “bayi paling
hemat” katanya. Hal itu dikarenakan saya selalu muntah saat emak menyuapi saya dengan makanan yang
kebanyakan orang bilang enak, seperti bakso, daging, atau sosis. Sehingga emak selalu menyuapi saya lauk tahu
tempe dan sayur bening. Selalu seperti itu. Emak
juga terheran-heran. Uang bulanan yang diberikan ibu pun selalu berlebihan.
Bakso yang dibelikan ibupun selalu emak yang
makan. Haha. Pernah juga sewaktu ayah dan ibu mengajakku makan bakso di sebuah
kedai makan, saya hanya duduk meminum es teh dan memandangi keduanya makan
dengan lahap. Setiap orang yang lewat memandangku dengan belas kasihan. Pasti
mereka berpikir jika orang tuaku adalah orang yang pelit. Padahal bukan
demikian. Saat mengingat-ingat itu saya kembali tersenyum kecil.
Sekarang, saat saya sudah banyak mengerti, saya
seringkali diejek karena masa lalu saya yang begitu, ah sudahlah. Kenyataan
bahwa saya tidak bisa tinggi padahal kedua orang saya tinggi juga seringkali
menjadi bahan ejekan. Mama saya yang seorang bidan mengerti benar, itu dikarenakan
saya kurang gizi di waktu golden age saya. Tetapi saya tak pernah kecil hati karena
itu, tidak sedikitpun meskipun saya seringkali berakting ngambek karena itu. Saya
Meskipun begitu, meskipun kami adalah orang madura, emak tak pernah memandang sebelah mata. Emak adalah orang pertama yang menerima
kami di desa ini. Hingga sampai aku dewasa. Emak
dan mbahkung menyayangi saya
layaknya cucu sendiri. Bahkan penghargaan juara I lomba Science tingkat Jawa
Timur yang terukir diatas styrofoam saat
saya SMP dulu dipajang diatas pintu rumah mereka hingga kini, hingga bentuknya
sudah tidak sama lagi, sudah rusak. Setiap saya akan memutuskan masa depan saya
kini saya tidak lupa mengkonsultasikannya dengan emak dan mbahkung.
Termasuk urusan asmara. Semuanya. Menceritakan masa lalu saya, masa kecil saya,
sama dengan menceritakan mereka. Mereka yang berjuang di balik layar hidup
saya. Terimakasih emak dan mbahkung. Tunggu aku nikah nanti yaa ^^
0 komentar:
Posting Komentar